186.
Sepulang dari dokter, Mingyu tidur terus. Dari siang hingga menjelang malam. Meski tidak tega, Minghao mau tak mau membangunkannya untuk makan malam. Ia membantu lelaki itu agar duduk, setengah merosot, bersandar lunglai pada kepala ranjang.
Semangkuk bubur yang ia pesan via ojek online pun diberikannya pada Mingyu, yang kemudian hanya dibiarkan saja di nakas samping tempat tidur. Kepala terlalu pusing dan demam terlalu tinggi. Tak ada nafsunya untuk makan. Apa boleh buat. Minghao menyuapinya paksa sampai habis beberapa sendok, sampai cukup untuk meminumkan obat ke Mingyu.
Setelah itu, Minghao mencuci piring, lalu memesan makanan untuk dirinya sendiri sembari mengganti saluran televisi. Ia mondar-mandir antara ruang tengah dan kamar Mingyu untuk mengecek suhu, juga mengganti Bye Bye Fever. Gaya tidur Mingyu yang berantakan, bahkan ketika sedang lemah tak berdaya, sukses membuat Minghao mendecak karena seringnya ia membetulkan letak selimut lelaki itu. Dijentiknya perlahan kening Mingyu dengan kesal.
Sudah jam 10 malam. Minghao telah menyelesaikan semua. Terakhir mengecek, suhunya sudah agak turun. Ia kemudian mengalihkan perhatian ke aplikasi ojek online di handphonenya, berniat untuk pulang. Minghao pun berdiri.
Namun, belum sempat ia melangkah, ada tarikan kuat pada lengannya.
Sedetik, ia mengedip.
Detik berikutnya, Kim Mingyu memeluk pinggangnya erat.
Ia telah berbaring bersama lelaki itu, berbagi bantal bersama. Punggungnya pada dada Mingyu. Bajunya ikut basah oleh tetes keringat yang meresap. Hela napasnya panas di tengkuk Minghao, membuat lelaki itu bergidik. Ketika ia tersadar akan situasi mereka, Minghao meronta. Tetapi, sungguh sia-sia. Mana mampu lah ia berkutik dari pelukan si lelaki besar yang memutuskan untuk mengunci tubuhnya bagai guling hidup.
“Haohao...”
Bibir Mingyu bergerak pelan menyentuh kulit tengkuknya. Minghao harus menahan gemetar yang datang mendadak.
“Hao...”
Kecupan di sana. Atau sekadar sentuhan. Atau—
Entahlah. Otaknya terlalu mengebul untuk dapat berpikir.
“Gyu—”
“Temenin...,” rengekan manja. “Di sini aja...jangan pergi......”
Debaran jantung. Ya Tuhan..., Minghao hanya berharap Mingyu tidak bisa mendengarnya. Mendengar betapa cepat jantungnya berdenyut. Pun ia berharap Mingyu tidak menyadari betapa merah wajahnya saat ini sampai ke belakang telinga.
Tidak menyadari kesusahan seniornya itu, Mingyu menyurukkan wajahnya ke ceruk leher Minghao. Kedua lengan betah melingkari pinggang langsing itu. Tangan turun sedikit untuk mengusap perut ratanya. Tarikan napas pada kulit Minghao. Kaki-kaki yang bertautan. Suaranya parau oleh batuk, berbisik tepat di telinga.
“Mau Hao...”
Hampir Minghao mengerang, andaikata dengkuran, bukti bahwa Mingyu sudah tertidur, tak datang menyusul kemudian. Minghao perlahan memejamkan mata, berusaha menetralkan darah yang mendadak mengalir deras dalam nadinya.
Ya Tuhan, Kim Mingyu...