2.
Pancuran air panas selalu bisa menghilangkan segala resah, segala beban yang menemplok tak mau lepas di punggung. Ketika sepatunya menginjak tanah pekuburan Soonyoung, semua kenangan lama seolah terbuka begitu saja di depan matanya.
Soonyoung kecil dengan gigi tanggal dua, dengan bangga memamerkan ikan tangkapannya dari sungai dekat rumah mereka.
Soonyoung yang mulai puber, memenceti jerawat di depan cermin di kamar Wonwoo.
Soonyoung yang mengecat rambutnya lalu dikejar oleh guru BK mengelilingi satu sekolah.
Soonyoung yang tersipu ketika ia berbisik di telinganya untuk mengajaknya menghabiskan hari Valentine berdua.
Soonyoung yang—
...
Ah, terlalu banyak. Terlalu panjang jika harus Wonwoo runut dari awal sampai akhir. Cintanya pada Soonyoung sudah melebur menjadi satu dalam badannya, tak lagi nampak. Tak lagi menetap hanya di hati, tetapi juga di seluruh organ tubuh Jeon Wonwoo. Memorinya. Napasnya.
Hidupnya.
Keran air ia tutup. Air pun mati. Wonwoo menyeka tubuhnya, lalu melilitkan handuk di pinggang. Handuk yang lebih kecil ia gunakan untuk menyeka kepala.
(“Kamu tuh kalo ngeringin rambut yang bener, Won, ntar sakit!”)
Ia tersenyum. Biasanya, Wonwoo akan duduk di atas karpet di ruang tengah, sementara Soonyoung mengusrek rambutnya yang basah kuyup dengan handuk sampai benar-benar kering. Mereka akan menonton siaran komedi jam tujuh malam yang sangat kekasihnya itu sukai sambil menunggu pesanan makan malam mereka datang (karena mereka berdua sama sekali tak bisa masak). Suara tawa Soonyoung yang tinggi akan tercetak di dalam benaknya, tidak akan pernah keluar lagi selamanya.
Sekarang, Wonwoo menyeka rambutnya sendiri. Dengan bantuan hair dryer dan sisir, ia mempercepat proses pengeringan. Suara ketukan di pintu kamarnya terdengar dan ia pun menoleh.
“Won,” itu Mingyu. “Lo mau makan malem?”
Tidak ada lagi menonton siaran komedi sambil menunggu pesanan makan malam.
“Mau,” ia mengangguk, padahal pintu di antara mereka tertutup dan Mingyu tak bisa melihatnya.
Mingyu mengiyakan, lalu pergi menjauh. Ia tak perlu berusaha membuka pintu kamar Wonwoo karena ia tahu pintu itu pasti dikunci.
==
Bunyi peralatan makan berdenting di atas piring. Wonwoo selalu diam seribu bahasa setiap kali pulang melayat Soonyoung. Padahal ini sudah kali ketiga. Pikiran Mingyu pun melayang pada waktu, melupakan daging dan sayuran di piringnya untuk sejenak.
Tiga kali. Mereka selalu melayat Soonyoung setiap empat bulan sekali. Berarti sudah setahun... Setahun semenjak ia dan Wonwoo menikah...
Setahun sudah. Enam bulan lagi sisa kesepakatan mereka.
Genggamannya pada sendok makan tanpa sadar mengerat.
“Mingyu?”
Yang dipanggil pun tersadar.
“Kok lo bengong?”
“Nggak kok...,” Mingyu menunduk, balik menyuap makanannya.
“Lo denger nggak tadi gue ngomong apa?”
Mingyu menggeleng. Wonwoo pun menghela napas.
“Kalo laki lo ngomong, dengerin dong,” ujarnya bercanda. Terlihat dari ringisan yang terbentuk di wajahnya. Mingyu ikut tertawa pelan (dan canggung).
“Iya, iya, sori...”
“Gue cuma mau bilang, makanannya enak banget. As usual. Trims ya, Gyu, sori gue selalu ngerepotin lo,” ringisan Wonwoo sudah berubah menjadi senyuman lembut. Ditangkupnya tangan Mingyu di atas meja. “Sorry and thank you for everything.”
Jantung Mingyu mencelos. Rasanya aneh. Rasanya tidak nyaman. Sentuhan ini. Kalimat itu. Seolah menyimpan makna ganda di dalamnya untuk alasan yang ia sendiri tak pahami, Mingyu tidak suka semua ini, namun ia tidak punya hak untuk menuntut penjelasan lebih, maka ia hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Gue beruntung banget punya temen kayak lo, Gyu...”
Nah, kalau yang itu, ia suka. Rasa tak enaknya terangkat sedikit. Mingyu bisa balas tersenyum pada Wonwoo. “Lo juga,” timpalnya. “Gue beruntung banget punya lo dan Soonie, Won. Gue beruntung banget temenan sama kalian berdua.” Ditangkupnya tangan Wonwoo yang berada di atas tangannya yang lain. “Terima kasih lo berdua udah dateng ke hidup gue...”
Mata Mingyu berkaca-kaca. Baginya, kenangan akan Wonwoo dan Soonyoung akan selalu indah, selalu penuh bebungaan cantik yang mekar disinari mentari pagi. Berkebalikan darinya, ekspresi wajah Wonwoo mendadak mati. Pucat pasi. Ia tiba-tiba berdiri dari kursi.
“Gue ngantuk. Gue balik duluan ya.”
“Oke,” ia tidak menangkap perubahan itu. “Sleep tight, Won.”
Wonwoo pun berjalan ke kamar tidurnya sendiri, membiarkan Mingyu mencuci piring kotor mereka malam ini. Sebagai kompensasi, Wonwoo akan mencuci piring makan malam besok, seperti biasa. Sebuah kesepakatan tanpa kata-kata di antara mereka.
Dua kamar tidur. Dua kamar mandi. Televisi yang jarang dipakai di ruang tengah, karena di kamar mereka masing-masing juga ada. Meja makan dimana mereka duduk berhadapan. Tak ada hewan peliharaan. Tak punya tanaman yang dirawat di balkon.
Tak ada foto bahagia pasangan suami itu dipajang dalam bingkai di dinding apartemen mereka. Tak ada rasa sebuah keluarga di sana.
Kim Mingyu adalah sahabatnya, teman yang baik, juga suaminya. Namun, titel yang terakhir tidak lebih dari keterpaksaan saja (atau, yang lebih masuk akal, adalah kebaikan hatinya). Wonwoo bersyukur, amat bersyukur, karena dengan adanya Mingyu, ia tidak terlalu sering melanglang sendiri ke tempat bahagia di dalam kepalanya, mengunjungi Soonyoung yang tertawa di sana. Tetapi, ia juga tahu, bahwa ia menyeret Mingyu bersamanya ke jurang nestapa ini. Jurang yang seharusnya hanya berisikan dirinya.
Mingyu orang baik. Terlalu baik. Ia tidak boleh berada di sini bersamanya.
Mingyu lebih cocok bersama sinar matahari pagi di rumah yang hangat dan penuh cinta, bukannya di sini, di apartemen dingin dan sepi.
Enam bulan lagi.
Enam bulan lagi dan Mingyu bisa bebas...