narrative writings of thesunmetmoon

2.

#gyushuabakery

Sungguh memalukan. Menangis seperti bocah ingusan di depan toko—yang ia yakin pasti ditonton oleh tetangga-tetangga mereka—dan di depan orang asing...

...yang saat ini sedang melipat lengan di dada sambil bersandar ke meja kasir.

“Apa maksud kamu, Nak...?” ibunya terduduk di depannya, melontarkan pertanyaan yang terdengar seperti sebuah tuduhan di telinga Joshua. Ia maklum. Bagaimanapun, kabar yang ia bawa memang tidak enak didengar telinga. “Mama nggak paham...”

“Shua mohon!”

Ditundukkannya kepala dalam-dalam. Meski ia sudah menanggalkan jasnya, sikapnya tetap formal karena ia berada di sini saat ini atas satu hal: bisnis. Bukan untuk melepas rindu bersama orangtuanya atau bernostalgia di toko yang ia kenal betul bahkan dari wanginya.

“Juallah toko ini ke perusahaan kami!”

Joshua hanya pulang untuk meminta orangtuanya melepaskan mimpi mereka berdua. Bagian mana dari kalimat barusan yang terdengar enak di telinga, mind you?

Ibunya menatap Joshua yang tengah menundukkan kepala dengan teduh. Belum cukup ia bahagia akan kepulangan sang putra yang telah ditunggu-tunggu selama 15 tahun, harus dihancurkan dengan dingin oleh pemikiran bahwa ia tak kenal lelaki muda di hadapannya itu. Joshua yang ibunya kenal bukanlah anak seperti ini.

“Kamu nyuruh Mama jual toko impian Papa kamu? Begitu maksud kamu?”

Oh, begitu dingin kalimat itu terjalin, membuat Joshua meneguk ludah dulu sebelum mengangkat kembali kepalanya untuk menjelaskan.

“Mama~ bukan itu maksud aku...,” bujuknya. “Tapi Papa sama Mama kan udah berumur. Apa nggak capek kerja terus? Apalagi di toko roti yang harus keluarin banyak tenaga. Shua cuma pingin Papa Mama bisa pensiun dengan nyaman aja kok. Nanti aku bisa nego sama manajemen atas buat mark up pricing, jadi Papa sama Mama bisa beli rumah di tempat lain—”

“Ini rumah kamu, Joshua.”

Ucapannya dipotong dengan tajam.

“Ini bukan cuma toko tempat mencari nafkah, tapi juga tempat di mana banyak kenangan keluarga kita di dalamnya. Lagipula,” ibunya lalu menengok sedikit ke belakang. “Untuk pekerjaan yang perlu tenaga, sekarang udah ada Mingyu.”

Mingyu?

Barulah ketika itu Joshua tersadar bahwa ada orang ketiga yang menjadi spektator mereka dalam keheningan. Lelaki itu menatapnya lekat-lekat, membuat Joshua balas menatapnya. Matanya membulat karena tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Siapa pula Mingyu Mingyu itu?

“Kamu—” pekerja sambilan apa gimana?

“Ditolak.”

Joshua mengerjap.

“Nggak denger ya? Tawaran kamu buat ngejual toko ini ditolak,” si lelaki bernama Mingyu itu mengeratkan lipatan lengannya, membuat otot lengannya semakin mengancam. Joshua meneguk ludah lagi, takut kalau lelaki itu cepat bermain tangan. “Kupikir akhirnya bisa ketemu anak yang selama ini Bibi Hong bangga-banggain. Eh pas dateng malah begini. Sori nih, aku sih ogah ya kalo baru aja pulang, malah ngusir ortu sendiri dari rumah cuma biar dapet bonus dari kantor.”

Seperti ada panah menghujam jantung Joshua. Oh, ia tersinggung. Big time. Urat lehernya seketika menebal.

“Maaf ya, emm, Mingyu, ato siapapun lah kamu itu,” Joshua memaparkan senyuman yang, tentu saja, tidak kalah mengancamnya dari otot besar itu. “Ini urusan keluarga, jadi tolong jangan ikut campur. Kamu ini siapa ya? Kalo cuma kerja di toko ini, bisa nggak ya nggak usah komentar?”

“Gue siapa?” lelaki itu mendecak. “Lo nggak perlu tau. Tapi seenggaknya gue bukan anak durhaka yang ngusir nyokap sendiri kayak lo.”

Mingyu maju. Punggungnya meninggalkan meja kasir yang sedari tadi ia sandari. Joshua pun, merasa tertantang, beranjak dari duduknya. Ia masukkan kedua tangannya ke saku celana. Senyumnya pun menghilang sudah

“Nggak denger ya? Gue bilang, lo tuh orang luar. Tau diri sedikit. Ini urusan gue sama nyokap gue.”

“JOSHUA! MINGYU!”

“Ada apa ini?”

Mereka semua menoleh ke arah pintu toko. Ke arah kepala keluarga Hong.