narrative writings of thesunmetmoon

202.

#minwonabo

Senin pagi itu, Seokmin sengaja datang agak terlambat dari biasanya. Bercerita tentang Joshua selalu membuatnya bermimpi di malam harinya. Bukan, bukan mimpi buruk, melainkan masa ketika mereka masih bahagia. Ia selalu suka melihat senyum Joshua. Yang manis, yang ceria. Ia terbangun dengan rasa hangat merebak di dadanya.

Ketika masuk ke ruangan Mingyu untuk mengecek jadwal hari itu, alangkah terkejutnya dia menemukan Mingyu sudah berada di sana, padahal jam kerja baru dimulai satu jam lagi. Mingyu tak pernah masuk sebelum jam 9 pagi.

Akan kedatangan Seokmin, Mingyu langsung bangkit dari kursinya. Ia tidak berkata apapun, hanya berderap menuju Seokmin dengan ketetapan hati, dan memeluknya. Erat. Saking eratnya, hampir terasa sakit.

Seokmin sempat terkejut, sebelum memudar menjadi sebuah senyuman. Jujur, ia sudah memaafkan Mingyu jauh sebelum ini. Tak jarang ia berandai-andai. Andai Joshua dijodohkan dengannya. Andai Seokmin dan Mingyu bekerja sama menggagalkan perjodohan ini. Andai.

Andai...

Sampai ia lelah berandai-andai dan menerima kenyataan bahwa, mulai detik itu, ia akan bangun dan tidur seorang diri.

Mingyu perlahan merosot di pelukan Seokmin, berlutut dengan kepala tertunduk di depan sahabatnya sambil menggengam tangannya. Seokmin ikut berlutut bersamanya, meremas tangan itu.

“Maaf.....,” satu kata, pintanya, dengan iba. Lirih. “Maaf, Seok, maaf....”

“Iya...”

”...Maaf...”

Isakan.

Seokmin mengelus kepala Mingyu.

”...Iya, Gyu,” sebelum mereka berpelukan. Dua sahabat sejak kecil yang terjebak dalam drama tragis kehidupan. Dan kali ini, Seokmin yang memeluknya lebih dulu.