21.
“Selamat sore. Saya mau jemput anak saya, Gyuri.”
Mendengar nama itu disebut, Wonwoo lantas beranjak. Ia tahu suara itu karena akhir-akhir ini sering datang ke TK. Pemiliknya adalah sosok yang tinggi dan tampan, yang sering ia dengar di dalam bisikan antusias para ibu murid-muridnya yang lain. Makanya, ketika ia menghampiri Mingyu, ia tersenyum karena tak merasa asing.
“Sore, Pak Kim. Ri sedang bebenah mainannya. Bisa kita bicara sebentar Pak?”
“Oh?” sebuah kesadaran terbentuk di paras. “Jangan-jangan ini-”
“Jeon Wonwoo. Salam kenal,” diulurkannya tangan yang disambut Mingyu dengan jabatan. “Saya guru anak Bapak.”
Mereka melipir ke sebuah ruangan kosong. Menilik dari beberapa meja dan berkas-berkas, Mingyu menebak bahwa mereka sedang berada di ruang staff pendidik. Ada set sofa di tengah ruangan itu, maka mereka duduk di sana.
“Begini, Pak,” Wonwoo memulai. “Saya perhatikan kalau Gyuri nggak mau makan bekalnya. Saya pikir karena tadinya dia nggak pernah dibawain bekal, terus mendadak dibekalin. Jadi kaget. Tapi biasanya anak-anak kalau dibawain gitu, yang kejadian adalah sebaliknya. Udah gitu, dia makin murung udah semingguan ini.
Mungkin...Bapak tau penyebabnya?”
Mingyu hanya diam terpekur.
”....Pak Kim,” Wonwoo mencoba lagi. “Maaf kalo saya lancang, tapi boleh saya tanya mengenai ibunya Gyuri? Karena sebelum ini, kami selalu korespondensi sama ibunya. Mungkin itu juga penyebab-”
“Pergi,” dipotongnya ucapan lelaki itu. “Ibunya pergi. Saya juga nggak tau kemana, Pak. Cuma tau pas saya bangun, dia udah nggak ada.”
Wonwoo tidak tahu harus berkata apa selain mulut membentuk huruf 'o', apalagi kalau melihat raut muka lelaki itu. Antara sedih dan bingung, dan...penyesalan? Entahlah. Wonwoo bukan cenayang.
(Dan dia nggak peduli soal rumah tangga orang lain, ck)
“Mmm...mungkin itu juga penyebab Ri nggak mau makan...,” ini sudah bukan ranah guru TK lagi, Kakek Sialan, batin Wonwoo. “Apa Bapak mempertimbangkan bawa Ri ke psikolog anak? Mungkin bisa membantu?”
Mingyu tampak terkejut. “Ri nggak separah itu kan?” tanyanya. Badan maju dari senderan kursi.
“Terus terang, saya nggak tau, Pak. Itu hanya saran. Kembali lagi, Gyuri anak Bapak. Saya akan bantu semampu saya sesuai kapasitas saya sebagai guru, tapi sisanya saya perlu kerja sama Bapak di rumah untuk perhatiin Ri lebih dari yang lalu, apalagi dia sekarang cuma punya ayahnya.”
“Tapi...tapi Ri selama ini kan kami perhatiin....”
“Pak Kim,” Wonwoo tersenyum lemah. “Bapak tau kalo kita punya buku diari antara orangtua dan guru?”
Mingyu mengangguk.
“Saya belum pernah nerima diari itu dari Gyuri dengan tulisan ibunya di dalamnya, Pak.”
Hening.
“Jadi, saya mohon Bapak lebih perhatiin anak Bapak dan mohon kalau ada sesuatu, laporin di diari itu. Saya juga akan begitu. Biar kita sama-sama tau gimana biar Gyuri ceria lagi.”
Pandangan mereka bertemu.
Sekali lagi, Mingyu mengangguk.