21
“Hai.”
Rasanya aneh. Sumpah. Padahal itu temen lo sendiri yang berdiri di ambang pintu depan. Tetangga sejak kecil yang, kasarnya, udah tau borok-boroknya lo sejak lo bisa mengingat. Tapi, entah gimana, ngeliat Joshua tersenyum ceria padanya, dua tangan masuk ke saku jins dalam outfit gaya casual (hooded jumper, his favorite), Wonwoo ngerasa kalo tenggorokannya kering, seakan nggak ada kata-kata yang dia tau yang bisa dengan tepat mengungkapkan perasaannya saat ini, padahal Wonwoo banyak baca buku dan pemahaman kosakatanya luas.
Seperti rindu, tapi lebih dari itu.
“Hey...,” beberapa saat kemudian, dia baru sadar kalo belum membalas sapaan sahabatnya itu.
Joshua, maklum, mengangguk pelan. Dia sendiri sumringah, bibir mengerucut kecil, nampak senang karena akhirnya bisa ketemu Wonwoo lagi (atau Wonwoo harap begitulah adanya). Diam-diam, anak Jeon meneguk ludah.
“So...mau ke mana kita, Won?”
“Lo hari ini kosong?” mastiin dulu aja, siapa tau ada janji lain hari ini.
“N'ah,” ringis Joshua. “I'm yours for the whole day.”
Seakan kedengeran lagunya Jason Mraz. “Oh...,” Wonwoo pun mengangguk. “Oke. Kalo gitu, yok. Temenin gue.”
“Ke?”
“Belanja.”
Joshua mengerjap. Wonwoo gantian yang meringis.
”...Hah?”
“Won, gila lo ya?? Ntar kalo kita ketangkep, bisa di-ban dari sini??”
“Makanya jangan ketangkep!”
“I'm literally inside this fucking cart!”
Mendengar itu, Wonwoo kaget. Banget. Joshua otomatis menangkup mulutnya. Sadar, bahwa dia baru saja memakai kata terlarang. Joshua nggak pernah ngomong kasar sebelomnya.
“Shua...?”
“Sori, kebiasaan,” dia meringis menyesal. “Di sekolah baru, gue kenalan sama anak dari Amrik. Namanya Vernon. Anaknya woles dan asik banget, jadi gue sering maen sama dia. Jadi kesamber deh.”
“O-oh...asli gue kaget...”
“Sori ya, Won, kalo lo jadi nggak nyaman...”
“Nggak, nggak pa-pa kok, kaget aja,” tersenyum, Wonwoo menepuk-nepuk kepala Joshua. Anak itu pun menunduk, entah merasa malu atau masih nggak enak. Ah, walau sudah berubah, dalemnya masih sama. Masih Joshua-nya yang berhati lembut dan menggemaskan.
Wonwoo ketawa.
“Shua,” panggilnya.
“Yeah?” yang dipanggil pun mendongak ke belakang, menatap Wonwoo.
“Pegangan.”
Belum sempat dia bertanya, tetiba saja Wonwoo berlari mendorong troli berisikan Joshua yang duduk dan belanjaan mereka sepanjang lorong hypermarket segede gaban itu. Saking besar dan luasnya, apalagi di jam segini dan tanggal tua begini, hampir tidak ada pengunjung lain di sana. Really, Joshua dan Wonwoo bisa dengan bebas bermain bersama.
Joshua tergelak senang. Ringan, tiada beban. Dia terkekeh geli sepanjang didorong, tanpa sadar menaruh kepalanya di pundak Wonwoo. Merasakan hangatnya Joshua di sana, Wonwoo juga tergelak. Pipinya menempel di sisi kening Joshua.
Dari jarak sedekat ini, Wonwoo menyadari sesuatu: bahwa ketika Joshua tersenyum sebahagia ini, matanya berkilau. Cantik sekali.
Dan Wonwoo ingin melihat Joshua seperti ini setiap hari, selamanya.