21.
“Hss-”
Jihoon menekan handuk kecil yang udah dia kasih air dan didinginin sedikit pake es batu yang Jun minta dari kantin kampus mereka ke pipi Wonwoo. Mereka berempat kini duduk di meja kantin: Jihoon, Jun, Seungcheol dan Wonwoo. Segera setelah orang asing itu pergi dan dua dosen mereka datang, kerumunan langsung bubar, kembali mengerjakan rutinitas pagi mereka, sementara mereka berempat memutuskan cabut dari kelas.
“Sakit kan? Makanya jangan sok berantem lu, Won, kayak bisa aja lu,” decak Jihoon.
“DIA YANG DATENG-DATENG NONJOK GUE???”
“Iya, tau, shut!” sengaja ditekannya lagi handuk kompres itu, membuat Wonwoo merintih lagi. “Dah nih pegang ah, pegel gue.”
Menurut, Wonwoo mengambil alih handuk di pipinya, memegangi kompresan itu.
“Siapa sih tuh orang, Won?” Jun bertanya, yang dijawab Wonwoo dengan gelengan semata.
“Nggak tau. Gue nggak kenal,” akunya. “Palingan antek-antek si Kwon Soonyoung. Dikirim pake duit dia buat ngehajar gue.”
“Won,” Seungcheol memotong. “Gue kasi tau ya. Gue sebenernya kenal dan yah, bisa dibilang, cukup sering ngobrol sama anak yang itu. Si Kwon Soonyoung. Dan gue yakin banget dia bukan anak yang kayak gitu, yang make duitnya buat nyakitin orang lain. Lo apain sih anaknya, Won, sampe begini jadinya?”
Karena nggak ada jawaban dari yang bersangkutan, Jun mengambil alih, “Gue kebetulan ada di situ sih, Bang. Jadi si Wonu ini nendang anak yang namanya Soonyoung itu, Bang. Di perutnya.”
”...What?”
“Jun.”
“Kenapa Won nendang anak orang gitu?” Jihoon mengernyitkan alis.
“Soalnya anak itu maen kasti di kantin sama temennya, terus bolanya nyasar,” Jun mengangkat bahu sambil lalu. “Terus kena Wonu yang lagi bawa tray makanan. Semua makanannya jatoh. Krompyang. Mubazir.”
“Oh...,” Jihoon mengangguk-angguk. “Ya, tapi kan, kalo cuma makanan-”
“Dia bilang 'berapa',” Wonwoo bergumam. “Gue suruh dia ganti semua biaya makanan gue dan dia bilang 'berapa'. Terus dia keluarin hapenya dan ngetik sambil nanyain nomer rekening gue. Dia bahkan ga sadar dia nginjek makanan gue di lantai. Kayak, makanan itu semua nggak ada harganya sama dia.”
Teman-temannya diam. Mereka tahu maksud dari perkataan Wonwoo apa, mengingat apa yang terjadi di masa lalu hingga detik ini dalam kehidupan teman mereka itu. Yah, kalo enggak tau, manalah mereka mau dipalak Wonwoo in daily basis.
”...Gue tau gue salah, nggak seharusnya gue nendang dia. Tapi gue kesel banget. Kesel banget. Buat dia mungkin nggak seberapa, semua itu. Cuma makanan. Bisa dibeli lagi. Tapi dia nggak tau, dia nggak tau buat gue—”
“Itu,” Seungcheol menangkup kedua pipi Wonwoo, menghentikan anak itu. “Dia nggak tau, Won. Oke, menurut gue, dia juga salah. Kantin bukan tempat maen. Tapi, lo juga salah. Anak itu nggak tau soal lo kayak kita. Lo nggak bisa nyalahin dia.”
“Bang...”
“Dasar lo tuh ya. Emosi lo itu dari kecil...nggak bisa dikendaliin...,” Seungcheol terkekeh. Ditepuk-tepuknya sayang pipi Wonwoo sebelum ia lepaskan. “Dengerin gue, Won. Soonyoung itu anak baik. Gue mau, pas lo ketemu dia lagi, lo jangan jahatin dia. Sekarang kalian udah impas kan, an eye for an eye? Yaudah. Nggak minta maaf pun nggak apa, kalian udah nol nih meterannya, kasarnya begitu. Yaudah. If you cannot be kind, then please be civil.”
“Gue nggak yakin gue bisa nggak ngamuk liat mukanya...”
“Yaudah jangan liat dia,” seloroh Jihoon. “Bang Cheol bener sih menurut gue. Kalo lo liat dia, lo kabur aja udah. Jangan trigger apapun. Pura-pura nggak liat. Ntar juga lama-lama dia ngilang dari lo kalo lo jauhin terus.”
“Ntar gue dikira pengecut, takut tiap liat dia...”
“Ya jangan pergi kayak anjing ngaing-ngaing gitu lah,” Jun ketawa. “Lo pass by, anggep aja dia nggak ada di dunia. Kan sekali dayung, kena dua tuh. Lo nggak nyari ribut dan, dua, lo bikin dia ngerasa nggak ada di dunia lo.”
”...Hoo,” dia mulai tertarik. “Tuh oke juga. Bener juga ya. Oke fine. Will do that.”
“Yeah, you do that,” Jun mengusrek rambut Wonwoo sambil nyengir. Mau rumor sejelek apapun yang Wonwoo sandang di kampus, mereka bertiga tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maka, mereka bertiga bersumpah akan menjaga anak meong mereka agar tidak terulang lagi kejadian yang sama. Wonwoo yang sekarang sudah lebih ceria, sudah bisa menerima orang-orang masuk ke dalam hidupnya. Tentunya, mereka juga ikut selektif akan orang-orang baru. Kwon Soonyoung, untuk saat ini, adalah orang yang buruk bagi Wonwoo.
“Jeon Wonwoo?”
“Oh. Kak Han?” bola matanya melebar.
Lelaki itu tertawa manis. “Panggil Hani aja, nggak usah 'kakak' segala. Gimana lo? Gue tadi liat lo ditonjok. Parah banget. Tapi gue harus ke kelas, jadi baru sekarang nyari lo. Bengkak ya?” Saat pipinya disentuh, Wonwoo meringis kesakitan, membuat Jeonghan otomatis menarik tangan. “Sori.”
“Nggak apa.. Iya, bengkak. Sakit.”
”...Gegara yang lo ceritain kemaren itu ya?”
Alih-alih menjawab, Wonwoo hanya menelengkan kepala sambil menghela napas.
“Oke deh. Gue tadinya cemas, takut lo parah banget. But I see it was handled well. Should I tell him or...?”
“Gak usah lah, Han. Gue lagi nggak mau dia ke rumah gue and babying me. Lagi pengen sendiri. Sori.”
“Okay,” Jeonghan mengangguk ke ketiga orang lain di meja itu dan mendapatkan balasan anggukan yang sama. “Gue duluan ya Won. Cepet sembuh.”
“Trims.”
Selepas kepergian Jeonghan, Seungcheol duduk mendekat. “Siapa, Won?” tanyanya.
Wonwoo meringis jahil. “Pacarnya tetangga gue, Bang. Udah ada anjing penjaganya. Posesif lagi anjingnya. Jangan lo godain,” selorohnya.
“Ah, shit. Baru aja nemu yang lusyu, dah taken,” Seungcheol berdecak.
“Yang ngehajar Wonu juga lusyu tuh, Bang,” Jun berkelakar.
“Najes.”
“Tetangga lo yang anak SMA itu?” Wonwoo mengangguk atas pertanyaan Jihoon. “Whoa...hebat juga tuh bocah, pacarannya sama anak kuliah...”
“Yaelah si Mingyu kan? Mingyu mah, dikira pegawai kantoran juga udah bisa. Bongsor gitu,” Seungcheol menghela napas. “Aaah dimana jodohkuuu~“
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, siapa yang punya anak, bilang aku~“
“DIEM!”
Seungcheol melempar gumpalan tissue bekas ke Jun yang mulai bernyanyi, membuat Jihoon dan Wonwoo terkekeh.