217.
Dering telepon.
“Halo?” cokelat hangat di tangan sebelah.
“Hao.”
“Oh, hey, Gyu.”
“How's your date?”
“It's fun. Nonton Star Wars. Nyobain pancake fluffy. Bentonya juga enak. Terus ketemu Mas Han dan Josh—”
Hening.
”......Sori.”
Sisi sana tertawa pelan.
“Don't be. So he's with him now, huh?”
Minghao merasa tidak perlu menjelaskan hubungan tanpa status antara Jeonghan dan Joshua, maka ia menjawab, “Yeah...”
Hening lagi.
“Hao...”
“Hmm?”
“Is he happy?”
Genggaman pada mugnya agak mengerat.
“He is.”
“Good. That's good...”
“Hmm...”
“Are you happy today?”
“I am,” Minghao menaruh mugnya ke meja, bergeser di sofa, mengangkat kedua kakinya ke atas sana. “He kissed me.”
Tiga detik kemudian, Minghao baru sadar apa yang baru saja ia utarakan. Perlahan, diteguknya ludah. Tidak ada jawaban dari seberang sana.
“On lips.”
Lanjutnya.
“Thrice.”
Bohong.
“Oh.”
Ritme jantung Minghao mulai tak teratur.
“Is he good?”
“Better than my last one, yeah.”
“I see.”
Hening lagi. Kali ini agak lama.
Ya Tuhan, ya Tuhan...kenapa dia bicara begitu? Kenapa dia sengaja pamer seperti itu? Minghao sadar seratus persen kalau ia sedang menggelitik ego Mingyu, mengipasi apa yang ia, diam-diam, harapkan, yakni rasa cemburu.
Entahlah. Entahlah. Kenapa dia ingin Mingyu cemburu? Semua ini membingungkan. Dan lebih parahnya lagi, tindakannya keluar tanpa dipikir terlebih dahulu. Tidak biasa.
Tidak seperti Minghao yang biasanya.
Dia bukan orang impulsif seperti ini.
“Okay then. Glad to hear you're having fun,” suara Mingyu ringan tanpa beban. “See you Saturday!”
Klik.
Bip, bip, bip...