narrative writings of thesunmetmoon

219.

#minwonabo

Mobil sedan hasil modifikasi suaminya itu menembus malam yang benderang. Jakarta tidak pernah terlalu sepi, meski di jam 11 malam ini, jalanan tidak lagi macet. Seungkwan duduk diam di samping suaminya yang tengah menyetir. Hansol adalah tipe penyetir yang hati-hati, tidak pernah terburu-buru satu kali pun, bahkan ketika ia sedang mengejar pesawat pagi ke Cengkareng.

Biasanya ada musik menemani perjalanan mereka. Kali ini, nihil. Di perempatan depan, lampu merah menyala. Barang 5-10 menit lagi kompleks rumah mereka akan nampak. Seungkwan merasa inilah saatnya mereka berbicara. Deguk ludah. Ditelannya ego mentah-mentah, membuka mulut, dan—

“Maaf.”

Hansol mendahuluinya.

“Aku nggak ngeh kamu beneran marah. Soalnya, ya, emang nggak apa juga buatku kalo nggak makan di restoran itu. Aku nggak kepikiran kamu bakal semarah itu.”

“Kamu sadar kan aku udah reserve tempat itu jauh-jauh hari...?”

“Iya.”

“Terus batal karena kamu telat keluar kantor dan kena macet.”

“Maafin aku.”

“Pikirin kayak gini,” Seungkwan mendecak. Lengan ia lipat di dada. Pandangannya tetap lurus dengan alis menekuk kesal. “Kamu ada tempat yang kamu pingin banget datengin sama aku. Terus aku telat bangun, terus kena macet, salah jalan, atau sejenisnya. Kamu marah sama aku, nggak?”

“Nggak.”

Decakan, lagi. “Jangan bohong—”

“Serius. Aku nggak marah. Aku tinggal puter arah dan cari tempat lain buat didatengin sama kamu,” Hansol menatap mata Seungkwan, yang menoleh karena jawaban barusan mengagetkannya. Ia melihat suaminya tersenyum tulus sambil mengaitkan jari-jemarinya di celah antara jari-jemari Seungkwan.

“Yang penting bareng kamu.”

Kemudian, dikecupnya punggung tangan sang Beta.

Meleleh, langsung. Seungkwan memang tak pernah bisa lama-lama marah pada suaminya itu, apalagi jika Hansol berlaku begini padanya. Suaminya itu memang kurang peka, agak beda sendiri jalan pikirannya, lemot, suka bengong...tapi dia tidak pandai berbohong. Apapun yang Hansol ucapkan, maka itu bisa dijamin tulus keluar dari lubuk hati.

“Hmm...,” mau tak mau, ia ikut tersenyum meski lemah. Suaminya balas tersenyum makin lebar, sebelum menutup jarak di antara bibir mereka. Mereka berciuman dengan santai, sampai mereka tersentak kaget oleh klakson mobil belakang. Hansol segera memindahkan gigi dan menginjak gas.

“Stop.”

Mereka melewati taman luas sebelum gerbang kompleks. Taman itu sepi. Sekelilingnya pun tak ada apapun, hanya ada tanah kosong, bagai jauh dari peradaban. Sengaja dibuat sebagai lahan serapan air tanah di tengah kota.

“Bentar lagi sampe kok?”

“Pinggir situ. Stop.”

Meski bingung, Hansol menurut. Mobil ia pinggirkan ke salah satu sudut tersembunyi. Seungkwan meraih kunci dan mematikan mobil. Ia pun dengan cepat berpindah duduk ke pangkuan suaminya, membuat Hansol otomatis memundurkan jok pengemudinya.

“B-Boo...?”

“Ssh,” ditangkupnya pipi Hansol. “Kamu tau kenapa aku mau pulang tadi? 'Cos those damn Alpha and Omega fuck for hours end and I don't even have my husband there to fuck me too...”

Hansol menelan ludah melihat gairah di mata suaminya.

“Mungkin kamu masih m-mabok, mending kita pu—”

“Yeap. Aku mabok...,” wajahnya semakin maju. Hansol bisa mencium bau alkohol dalam jarak sedekat ini. Ia tak tahu harus menaruh tangannya di mana, jadi ia memegangi pinggang suaminya. Seungkwan pun tertawa manis. “Anggep aja aku masih mabok...”

Belum sempat Hansol protes, bibirnya dibungkam oleh bibir suaminya dengan ganas.