narrative writings of thesunmetmoon

219.

#gyuhaooffice

Minghao duduk bersama Seokmin di pantry, memakan makan siang mereka dengan berisik.

“Lo sih,” Seokmin mendecak, memakan nasi pecel ayamnya sambil menclak-menclak.

“Eh, yang nyosor siapa??” Minghao, tidak mau kalah, mengibaskan sendoknya ke arah muka temannya itu. “Ada yang nyuruh??” Diciduknya bubur dengan geram.

“Kalo lo nggak bilang aneh-aneh ke Mingyu kan gue juga nggak dicipok, setan!”

“Gue yang harusnya marah, kok lo yang dicipok??”

Hening.

”...Bentar, Hao, barusan-”

“Dah diem.”

Seruput bubur ikan lagi. Begitu ia sampai kantor, dia menemukan dua hal: sarapan beserta makan siang di atas mejanya lagi, tanpa post-it apapun, dan meja Kim Mingyu yang kosong.


“Bang Jihoon?”

“Hm?”

“Gyu kemana?”

“Cuti.”

“Anak baru udah dapet cuti?” kernyitan.

“Advance kan ada.”

Makin dalam kernyitannya.

“Bang Jihoon?”

“Apa sih, berisik banget lu pagi-pagi.”

“Yang naro ini, siapa?”

“Tauk. Dah ada pas gue sampe kayaknya.”

Makin dan makin dalam saja kernyitannya.


“Grup berisik banget.”

“Ya lo bego, bukannya japri.”

“Gue terlalu syok, anjing, mana sempet ngecek itu grup ato japri,” Seokmin menenggak air putihnya. “Fuck. Masih aja nempel di bibir gue. Udahlah sini lo cium gue lagi, biar ketiban sama bibir lo.”

Minghao membuat ekspresi jijik. Ia tidak mengindahkan lelaki itu, hanya menyeruput buburnya lagi. Enak. Dia seharusnya kangen dan menikmatinya, karena sudah beberapa lama ia tidak memakan masakan secret admirernya, namun lidahnya justru pahit karena ulah Seokmin dan Kim fucking Mingyu.

Great.

”...Apa rasanya?”

“Hah?”

“Itu,” ditunjuknya bibir Seokmin. “Apa rasanya?”

“Enakan bibir lo,” tanpa tedeng aling-aling, Seokmin menyeloroh.

“Najis,” kaki menendang kaki Seokmin, membuatnya tertawa meski bercampur dengan dengking kesakitan.

“Apa ya, biasa aja. Kayak dicium laki. Beda sama lo.”

“Gue laki, anjing.”

“Iya, tapi bibir lo enak. Seriusan deh. Kayak nyium pipi bayi,” Seokmin menyuap sambal terasi dan nasi ke mulutnya. “Mungkin bibir Oci juga kayak gitu ya? Dia kan gumus gumus gitu. Pantesan aa-nya doyan, abisan nagih.”

“Ini ngomongin apaan sih, ya Tuhan...,” Minghao mengusap muka, menutupnya dengan kedua tangan. Merasa lelah. “2020 ganti temen apa ya...”

“Ga bakalan bisa lah,” dengusnya geli. “Temen itu bukan lo yang milih. Seleksi alam. Otak rusak memanggil otak rusak laen. You are us, Haohao.”

Minghao hanya menggeram kesal.

“Eniwei, itu makanan dari pemuja rahasia lo?”

“He-eh...”

“Hee...,” Seokmin menggigiti timunnya. “Udah tau siapa yang ngasih?”

Minghao menggeleng.

“Hmm. Nih gue kasih tau ya.”

Barulah ketika itu, Minghao ingat kalau Seokmin mengaku pernah melihat orang yang menaruh makanan di atas mejanya. Ia menyingkirkan mangkuk plastik yang telah tandas dan maju lebih dekat. Seokmin pun membungkuk, seolah takut ada yang menguping pembicaraan mereka.

“Gue tuh yakin banget gue ngeliat dia naro makanan ke meja lo. Tapi, pas dia business trip, lo tetep dapet makanan kan? Jadi gue nggak berani bilang, karena gue jadi ngerasa salah. Nggak yakin. Takut malah berabe, terus kena deh gue.”

“Siapa?”

“Emm...”

“Siapa, Seok??”

“Cium lagi boleh nggak tapi?”

“SEOK, JANGAN SAMPE GUE GAMPAR YA LO??”

“OKE, OKE! Mm, itu,”

Minghao menahan napas.

Mas Jihoon.