226.
“Hey.”
“Hoi.”
Begitu saja, sapaannya, lalu Minghao melewati Kim Mingyu menuju dapur. Di dapur, sudah ada Seungkwan dan Chan, sementara Hansol bertengger di salah satu kursi sedang menghabiskan sebungkus camilan.
“Nih, gue bawain daging sama ayam,” ditaruhnya seplastik kresek besar, lalu seplastik lain, ke atas konter tempat memasak. “Yang ini snack sama soda.”
“Nggak ada babi, Bang?” Hansol mengecek bawaan Minghao.
“Gue nggak ngebabi. Lo aja yang beli kalo pengen.”
Decak protes. Tapi, melihat jumlah daging yang dibawa Minghao, Hansol tidak jadi protes.
“Siapa lagi yang belom dateng?” dilepasnya jaket, memutar kepala ke tiga anak itu, sengaja tidak mengindahkan Mingyu yang bersender di pintu dapur.
“Bang Oci masih di jalan, Bang, mampir beli sayuran, ikan, udang...”
“Kok dia semua? Kalian bawa apa?” tanya Minghao.
“MI GORENG 40 BUNGKUS!” sahut Chan.
“Telor dua kilo!!” Hansol tak mau kalah.
“Naget, kentang goreng, sosis...,” Seungkwan mengisi sisanya. “...daannn...”
Kemudian, mereka bertiga memandang ke belakang Minghao, yang mana, mau tak mau, mengharuskan Minghao menoleh pada orang itu.
Kim Mingyu masih bersandar di pintu dapur dengan ringisan jahil.
“Bir,” ucap lelaki besar itu.
Diangkatnya sepak penuh. Tentu sisanya sudah disimpan ke kulkas agar dingin dan nikmat. Minghao menghela napas, menyesal tidak membeli anggur tadi.