227.
Joshua perform dengan bagus sekali. Penonton diajaknya berinteraksi ketika petikan gitarnya berhenti. Selain playlist lagu yang telah disepakati dengan Jeonghan, dia pun membuka rikues, terutama pada bintang utama acaranya, ibu Jeonghan.
Acara ulang tahun itu berlangsung sangat santai. Diadakan di kebun dengan lingkup kecil keluarga mereka, hanya keluarga inti Jeonghan, adik dan kakak kandung ibunya, serta sepupu-sepupu mereka. Orang-orang yang benar berarti dalam hidupnya. Meski begitu, kualitas pestanya tidak sesederhana itu. Mirip pesta pernikahan namun lebih santai.
Bunga segar di atas meja-meja bundar. Sampanye dingin dan mahal. Stall dari restoran-restoran Senopati. Outside buffet hotel ternama. Lilin dan lentera membuat suasana menjadi syahdu.
Joshua baru tahu kalau Jeonghan sebenarnya tidak perlu bekerja untuk mencari nafkah. Ia menelan ludah diam-diam ketika didudukkan di meja panjang bersama orangtua Jeonghan, adik perempuan dan pacar adiknya. Meski pembawaan mereka santai, Joshua tahu bahwa ia sedang diamati, dinilai.
Mengetahui Joshua, ia pandai menutupi segala kegelisahannya dengan aktingnya. Manis, lembut. Tersipu di saat yang tepat. Merendah saat Jeonghan memujinya di depan orangtuanya. Ia berusaha menampilkan semua sisinya yang bagus, tidak ingin Jeonghan menanggung akibat apapun.
Tanpa Joshua sadari, saat ia sibuk menyetem gitar di atas panggung kecil, ibu Jeonghan memeluk anaknya dari belakang.
“Manis.”
“Gemes kan, Ma?”
“Selera Mas banget,” goda ibunya, membuat Jeonghan tersenyum malu-malu. “Tapi, Mas, Mama masih ragu. Soalnya, anak itu, kelewat manis. Ati-ati lho, Mas, yang senyumnya palsu kayak gitu biasanya nyimpen niat jelek.”
Jeonghan tetap tersenyum, paham benar maksud ibunya. Khawatir. Anak lelaki pertama. Cucu lelaki pertama. Jeonghan adalah harapan keluarga besarnya untuk menikah pertama kali, tapi tak kunjung menemukan tambatan hati. Semua karena ia sungguh pemilih. Makanya, ketika Jeonghan bilang akan membawa seseorang makan siang bersama mereka, keluarganya langsung mengerti.
“Mas udah tau kok, Ma,” Jeonghan tidak lepas menatap Joshua. “Jelek-jeleknya dia. Rusaknya dia. Busuknya dia.”
“Lho? Terus?”
“Mama tau nggak, katanya, mutiara itu paling bagus yang diambil dari lumpur paling kotor?”
Jeonghan terkekeh melihat paras kebingungan ibunya.
“Mas nggak cuma tau jeleknya dia aja, Ma. Mas juga tau kalo dia tulus. Hatinya polos. Cuma anak kecil yang pingin disayang. Dia nggak punya siapa-siapa, Ma,” Jeonghan menoleh. “Anak ini nggak punya siapa-siapa.”
“Hmm...,” ibunya Jeonghan mengangguk-angguk. “Mama sih nggak bisa ya liat dia anak kayak gimana, abisan palsu banget di depan Mama...”
“Palingan juga dia takut kalo Mama mikir jelek ke dia,” kekeh Jeonghan. “Mas rasa sih Mama pasti bisa kok liat dalemnya dia. Mama kan mamanya Mas.”
Ada sinar berkilat di kedua mata ibunya yang cantik itu, yang dibalas Jeonghan dengan ringisan tak kalah berbahayanya.
Buah memang jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya.