narrative writings of thesunmetmoon

228.

#minwonabo

“Lo napa sih uring-uringan mulu dari tadi?”

“Apaan sih, gue nggak kenapa-napa kok!”

“Itu ngegas?”

“Siapa??”

Seokmin menghela napas. Alpha lain mungkin sudah mencekik sahabat rangkap bosnya itu, untungnya ia Alpha yang beda dari Alpha kebanyakan. Ia duduk di depan meja Mingyu, saling berhadapan.

“Gyu,” tanyanya sabar. “Kenapa?”

Mendecak, sahabatnya itu, sebelum menghela napas berat. Wajahnya kusut. “Wonwoo ngambek...,” akunya dengan malu. Bagaimanapun, membuat Omega marah adalah salah satu bentuk ketidak mampuan seseorang sebagai Alpha dan itu meresahkan harga diri Mingyu.

Seokmin cuma ketawa. “Lo ngapain lagi sekarang?” ejeknya.

“Jangan malah ngekek lo, anjing,” ditoyornya kepala Seokmin yang malah makin keras tertawa. “Ya gimana. Kemaren gue jemput dia di cafe Bang Cheol kan, eh ada Alpha deket-deket Omega gue. Gimana gue nggak naik pitam, coba.”

“Eh, bentar deh. Wonwoo kerja? Sejak kapan?” Seokmin kedip-kedip heran.

“Nggak kerja permanen juga sih...,” mendesah, Mingyu merebahkan punggungnya ke kursi. “Hani kan lagi sakit, diopname karena DBD. Won nawarin bantuin di cafe Cheol. Gitu doang sih.”

“Oooh...”

“Gue kan cemas ya. Tuh anak belum pernah kerja. Kirain nggak apa lah, bisa gue jemput malemnya. Toh dia dibantu karyawannya Bang Cheol. Lah rupanya Alpha, unmated,” kembali ia gusar kala mengingat tangan sang Alpha muda di lengan Wonwoo kemarin malam. “Terus Won malah kesel sama gue gegara kemarin gue seret dia pulang langsung.”

“Ya lo bego.”

“Maksud lo apa??”

“Hussh!” Seokmin mengangkat telunjuk untuk mendiamkan salakan anjing besar di depannya. Kemudian, Alpha itu tersenyum ramah dan mengacak rambut Mingyu dengan gemas. “Gue kira karena apaan. Udah, lo minta maaf sana sama Omega lo.”

Mingyu menggembungkan pipinya. Alisnya mengerut dalam, masih merasa kesal. “Nggak mau!” dia menaruh sebelah pipinya di meja, membiarkan Seokmin terus mengusrek rambutnya.

“Jangan gitu ah, Gyu,” decaknya.

“Nggak mau,” gumamnya lagi. “Wonwoo lagi marah. Gue juga lagi marah. Gue dilarang jemput dia, dilarang datengin dia ke tempat kerjanya. Gue nggak mau ganggu dia dulu lah, Seok.”

“Hmm,” jemari Seokmin di kepalanya memelan, lalu berhenti total sebelum melanjutkan ucapannya. “Ntar kangen lho.”

“Nggak lah. Ntar malem juga ketemu.”