narrative writings of thesunmetmoon

233.

#soonwoo

“Kamu jadi mau kuliah?”

Joshua mengangguk. Mereka lagi makan siang di suatu restoran yang lagi nge-hits karena baru buka dan spot buat selfienya banyak. As usual, makanan di restoran ato kafe kayak gini rasanya standar aja. Dibilang nggak enak ya enggak, dibilang enak mah nggak nyampe. Tapi, harus Joshua akui, penyajiannya lucu-lucu. Instagrammable gitu.

“Kok mendadak?”

“Nggak dadakan juga sih,” sanggah lelaki itu. “Aku sebenernya udah kepikiran sejak sebelom kita jadian, soalnya kamu sering cerita soal kampus kamu, soal temen-temen kamu. Aku jadi kepengen.”

“Oh,” lalu, senyuman Seungcheol merekah. “Iya sih, aku juga mikir sayang juga kalo kamu nggak kuliah, Shua. Daripada jadi ghost writer, mendingan kamu jadi writer-nya sendiri nggak sih?”

Mendengar itu, Joshua ketawa. “Nggak sesimpel itu, Cheol,” jelasnya.

“Kan umpamanya,” melihat kekasihnya nampak senang, dia juga ikut senang. Dielusinya tangan Joshua di atas meja tanpa peduli pandangan orang sekitar. Joshua, menyadari itu, menunduk, menyembunyikan pipinya yang memerah.

Gemes.

“Terus,” dia melanjutkan. “Kamu mau kuliah di univ aku?”

“Lho? Emangnya bisa? Univ kamu kan univ negeri?”

Kini giliran Seungcheol yang ketawa. “Kamu literally tinggal sama satu-satunya keturunan Kwon, Shua,” selorohnya. “Dia bahkan bisa beli univ aku kalo dia mau. It will be a piece of cake buat dia masukin kamu ke univ aku.”

Tapi, dengan cepat, Joshua menggeleng. “Aku nggak mau nyusahin Hosh lagi,” tegasnya. “Dia udah nampung aku pas aku diusir ibu kos dulu. He's done too much.”

Sejujurnya, Choi Seungcheol nggak melihat hal itu menjadi beban atau bahan pertimbangan bagi Kwon Soonyoung sama sekali. Anak itu, seingat dan sepemahaman Seungcheol, nggak akan tanggung-tanggung dalam ngebantu orang lain dan, yang tambah mencengangkan, tulus dalam melakukannya. Anak seperti Kwon Soonyoung bisa punya banyak temen just by existing alone. Kekadang, Seungcheol nggak paham kenapa Soonyoung seolah terobsesi sama Wonwoo.

“Berarti kalo kamu kuliah, kamu mau ngekos sendiri lagi kah?

“Hmm,” dia membenarkan. “Aku ada tabungan dari kerjaan selama ini. Kalo aku bisa masuk univ dengan beasiswa, aku mau coba ngekos lagi. Mungkin bakal sambilan sana-sini juga.”

“I see...,” Seungcheol bergumam. “Asal jangan diforsir ya. Udah cukup sekali aku liat Won ambruk sampe opname gegara kebanyakan kerja, jangan sampe keulang di kamu.”

Mereka berdua tertawa ringan. Piring kosong telah disingkirkan ke pinggir meja sehingga mereka bisa berpengangan tangan dengan lebih leluasa. Untuk sesaat, mereka cuma saling menatap. Riuh rendah kehidupan di sekeliling mereka menghilang dari telinga.

“Kok kamu nggak nanya kenapa aku mau kuliah?”

“Hmm?” desahan. “Aku sih cuma seneng aja kalo kamu nemu apa yang kamu mau lakuin, Shua.”

Senyuman yang berbalas.

”...Aku mau kuliah soalnya, yah, pas aku minta kamu nggak buang waktu kamu terus-terusan sama aku, aku nyadar kalo aku...nggak punya siapa-siapa lagi,” jantungnya berdebar agak cepat dalam dada. “Dulu...dulu aku selalu punya Hoshi. Cuma punya dia. Walo dia punya banyak temen, tapi nggak ada satupun yang dia anggep beneran temen. Dia selama ini anggep mereka temenan sama dia karena duitnya aja and that's okay for him.”

Seungcheol bungkam. Well, ini hal yang nggak konsisten dengan apa yang dia tau mengenai Kwon Soonyoung selama ini.

“Seriusan Soonyoung ngomong gitu?”

Joshua mengangguk, “Dia udah tau dari dulu kalo orang-orang deketin dia karena uangnya and, well, most often than not, emang begitu kejadiannya. Eh tapi Hosh nggak pernah ngerendahin ato gunain mereka ya. Dia anak baek. Dia tau, dan dia biarin mereka. Dia ikhlas sama uangnya. Eh...gimana aku jelasinnya ya...”

Seungcheol membiarkan Joshua mencari kata-katanya sendiri.

“Itu cuma uang buat Hosh. Kalo uang itu bisa bikin orang seneng, dia nggak segan ngeluarinnya. Dan kalo mereka nganggap dia temen mereka karena itu, ya dia terima-terima aja. Ikut seneng karena dianggep temen. Gitu.”

“Tapi bahaya dong,” alis Seungcheol mengernyit. “Gimana kalo ada yang jahat terus dimanfaatin dianya?”

“Makanya aku di sini kan?” dengan bangga, dibusungkannya dada. “Tugasku ngelindungin dia. Saking seringnya, aku udah apal mana yang cuma mau manfaatin dia aja. Apalagi kalo kayak anak kamu yang berani nyakitin dia.”

Mata Joshua berkilat, membuat Seungcheol menepuk-nepuk perlahan tangan kekasihnya, mengingatkan bahwa itu terjadi di masa lampau dan sekarang Jeon Wonwoo nggak begitu.

“Yah, anyway. Dia sekarang deket sama anak kamu dan kayaknya juga sama temen-temen kamu yang dua itu. Hosh keliatan seneng banget dan, idk, kayaknya mereka nemenin dia dengan tulus. So...aku ngerasa kalo Hosh udah bisa lepas dari aku.”

Joshua pun menghela napas panjang.

“Dan, karena aku udah dilepas sama Hoshi dan aku nggak bisa bergantung sama kamu 24/7, makanya aku mau kuliah. Aku mau...memperluas duniaku...”

Seungcheol melihatnya dengan jelas. Di kedua bola mata hitam Joshua Hong, bersinar harapan dan masa depan. Dia bisa membayangkan hari-hari ke depan bersama kekasihnya, mendengarkan dia mengoceh soal dosen dan teman-teman kampusnya, menggerutu akan segudang tugas yang diberikan, minta maaf karena bakal lembur sedikit di kerja sambilannya dan, alhasil, Seungcheol menunggu agak lama di mobilnya, dan...dan...ketika Joshua lulus, Seungcheol akan ada di sana bersama buket bunga besar di tangannya.

“Joshua,” panggilnya. Lembut, penuh sayang. Joshua Hong mendongak untuk menatap balik kekasihnya. “You can do it.”

Kepercayaan.

Dan, jika senyuman Joshua adalah yang paling indah dia lihat di hari itu, Seungcheol nggak mengatakan apapun. Dia hanya menyimpannya diam-diam di dalam ingatan.


“Abis ini mau ke mana kita? Ke museum? Toko buku? Jazz club?”

“Maen ke Timezone aja yuk, abis itu ice skating ato ke sports center.”

Seungcheol mengerjap, sementara Joshua tertawa.

“Kok...?”

“Aku juga mau belajar soal hobi kamu, Cheol. Bosen juga ngomongin Vermeer and Bach.”

Serta merta, Seungcheol meringis lebar. “Oke, ayo. Kuajarin cara nembak zombie!” dengan semangat 45, digamitnya tangan Joshua. Mereka pergi dari restoran itu, berpengangan tangan, dan Joshua nggak pernah ketawa selepas ini sebelumnya.