narrative writings of thesunmetmoon

235.

#soonwoo

“Hmm?”

“Kenapa, Gyu?”

“Enggak...Gyu kok ngerasa ngedenger suara pintu...”

Jeonghan mengangkat kepalanya dari bahu Mingyu. “Jangan-jangan keluarga kamu pulang?” tanyanya cemas.

Mingyu cuma ketawa. “Enggak kok. Perasaan Gyu aja kali, Kak,” ucapnya santai. Dia menarik lagi kepala Jeonghan dan membaringkannya di bahu, kembali ke posisi sebelumnya.

Setelah makan siang yang dipesan via layanan pesan antar, mereka memutuskan untuk menonton film di ruang tengah. Memang niat awal mereka kencan hari ini adalah untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, namun rasanya aneh banget kalau datang-datang langsung, for the lack of better word, begituan. Jadi, mengesampingkan atmosfer awkward yang sempat santer saat mereka berdiri di pintu depan, saling menyapa dalam gugup kentara, mereka sepakat untuk menikmati saja hari ini sebagai hari pacaran seperti biasa. Kalau berakhir di tempat tidur, maka terjadilah. Kalau tidak juga tidak apa-apa. Mereka menyerahkannya pada arus nasib.

Fakta tersebut membuat Mingyu rileks seketika. Dia pun bolak-balik dari ruang tengah, ke dapur, ke kamar, dalam usahanya menyamankan Jeonghan. Mengambilkan minuman dingin, bantal empuk untuk senderan, bahkan piring serta peralatan makan saat makan siang mereka tiba. Jeonghan hanya tertawa melihat kekasihnya itu sibuk sendiri dan, hapal benar kalau Mingyu senang memanjakan dirinya, ia membiarkan Mingyu melakukannya.

Rasanya aneh, dimanjakan oleh lelaki yang lebih muda darimu. Jeonghan merasa spesial.

Tentunya di waktu yang lain, ketika Mingyu terlalu sibuk untuk mengerjakan semua sendirian, Jeonghan langsung bergerak untuk membantu tanpa banyak bicara ataupun bertanya. Bila Mingyu sibuk memasak, Jeonghan akan mengambilkan piring tempat makanan disajikan dan mengatur meja makan. Bila Mingyu sedang mengangkat sesuatu yang berat, Jeonghan akan membukakan pintu dan, tidak lupa, mengecup bibir anak itu ketika sudah melewati pintu.

Hubungan mereka begitulah adanya. Sesuatu yang timbul tanpa banyak bicara. Entah Jeonghan berbuat kebaikan apa dalam hidupnya sampai bisa mendapatkan Mingyu, yang jelas dia sangat, amat bersyukur karenanya.

(Dan dia tidak tahu bahwa Mingyu berpikiran persis sama dengannya sampai bertahun-tahun kemudian ketika Mingyu mencurahkan isi hatinya sambil memeluk Jeonghan dari belakang, saling berbagi bantal di tempat tidur mereka. Tapi, ah, itu masih kisah yang nun jauh di sana.)

“Mingyu...,” menghela napas, kepalanya mengusrek bahu sang anak.

“Iya, Kak?”

“Mingyu kan masih 17 ya.”

Mendadak, bahu tersebut menegang.

“Jujur ya. Jujur banget nih,” Jeonghan pun meneruskan. “Aku takut, Gyu. Kamu masih muda banget. Bukannya aku bilang kamu anak-anak ato apa ya, bukan itu maksud aku.” Ia buru-buru menjelaskan. Kepalanya menjauh agar bisa mendongak menatap Mingyu. “Tapi aku takut. Aku pacar pertama kamu kan?”

Mingyu diam saja meski Jeonghan menyentuh halus pipinya.

“Aku takut kalo aku yang ngambil pengalaman pertama kamu, kamunya nanti nyesel...”

“Jadi, Kak Han maunya pengalaman pertama Gyu sama orang lain?”

Lidahnya kelu. Bukan gitu juga maksudku.

Melihat bagaimana kekasihnya itu tidak bisa berkata-kata, Mingyu mendengus geli. Ia berdeham, mengusir rasa gelinya lalu berubah ke mode lebih serius. “Kak Han, kalo Gyu disuruh milih, Gyu bakal milih pengalaman pertama Gyu sama Kakak terus. Kak Han tau nggak, kalo ciuman pertama Gyu sama Kakak?” tanyanya.

Terkesiap, Yoon Jeonghan, mendengar itu.

”...Masa?”

“Iya. Tau juga nggak, kalo cinta pertama Gyu itu Kakak?”

“Mingyu...”

“Kak Han...,” Kim Mingyu tersenyum. Lembut, lembut sekali. Sama lembutnya dengan sentuhan tangan yang mengambil tangan Jeonghan dari pipinya untuk dikecupnya penuh sayang. “Cinta pertama Gyu itu Kakak. Ciuman pertama Gyu sama Kakak. Gyu mau pengalaman pertama Gyu juga sama Kakak. Dan, Kak,

kalo Gyu beneran hoki banget,

Gyu juga mau semua yang terakhir juga sama Kakak...”

Jeonghan lebih tua. Lebih luas mengenal dunia. Telah bertemu berbagai macam orang, dari yang brengsek parah sampai super naif. Pengalamannya jauh lebih banyak daripada sekedar anak usia 17 yang masih terkukung dinding-dinding bangunan sekolahnya. Jeonghan tahu 'selamanya' adalah bullshit.

Tanpa terkecuali, semua orang akan merasa bosan dalam rentang hubungan 1-3 tahun. Masuk tahun 4 ke atas, yang menyatukan mereka bukanlah cinta, bukan lagi rasa suka antara satu sama lain. Yang menyatukan mereka adalah persahabatan, satu paham dan pemikiran, dan, apabila itu juga telah lenyap, maka yang menyatukan mereka adalah kewajiban: rumah tangga, anak, hewan peliharaan.

Jeonghan jauh dari kata naif, tapi dia juga bukan orang brengsek. Ia melihat sepasang mata memandanginya dengan sungguh-sungguh, penuh harapan akan masa depan, dan ia tidak sampai hati mengutarakan kenyataan pada pemilik bola mata seindah itu.

Lagipula...

“Kak Han.”

Pikirannya buyar. Ia mendongak lagi, sedikit, menangkap pandangan Mingyu yang lurus pada matanya.

“Gyu mau Kakak yang di dalem Gyu.”

...kalau boleh jujur, Jeonghan juga berharap yang sama.

Kerjapan mata beberapa kali.

”...Hah?