236.
Wajah Mingyu tak ayal memerah. Anak itu menunduk, cukup salah tingkah. Ia memainkan ujung bajunya, dengan cemas menanti reaksi sang kekasih. Jeonghan masih memasang paras takjub. Bibirnya membuka dan matanya membelalak. Iya sih, dia ingat kalau dirinya yang bilang sendiri ke Mingyu kalau preferensinya itu switch, alias dia suka menjadi keduanya.
Tidak ada yang Jeonghan benci lebih dari asumsi orang-orang saat melihat wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang ramping, lalu menganggap dia sebagai ultimate bottom.
Well...ada sih yang Jeonghan benci lebih dari itu, yakni mantannya yang memaksanya untuk terus menjadi pihak penerima tanpa sekalipun sudi bertukar posisi dengan Jeonghan. Pengecut. Cuma pengecut yang ngakunya lelaki, tapi malah takut ketika dimasuki di belakang sana. Toxic masculinity sampah.
Ia lega karena, dengan Mingyu, ia bisa mengutarakannya sebelum mereka meniti lebih jauh lagi hubungan mereka dan Mingyu memahaminya, menerimanya. Tapi, jujur saja, Jeonghan tidak pernah mengira bahwa 'malam pertama' yang Kim Mingyu, lelaki 17 tahun dengan tinggi badan 187cm dan berat 70kg dan ukuran kaki 41,5, maksud adalah dirinya kehilangan keperawanan di belakang sana.
Maksudnya....have you seen Kim Mingyu?
Siapa sangka, dengan tubuh jelas-jelas kelebihan testosteron di usia yang masih belia, bersedia menyerahkan dirinya ke tangan kekasihnya yang jauh, jauh lebih mungil dan jauh, jauh lebih ramping. Jeonghan meneguk ludah, entah mengapa menjadi lebih bersemangat. Tak sabar. Bagaimana rasanya memiliki seorang lelaki bertubuh besar dan lebih kuat darinya, malah berada di bawah pengampunannya?
Dominasi. Mingyu menyerahkannya pada dirinya di atas pinggan perak. Setiap lelaki pasti akan membuncah egonya, tanpa terkecuali Jeonghan.
“Kamu yakin...?” tanyanya, hati-hati.
Mingyu mengangguk. Mukanya masih memerah, menggemaskan sekali. Andai bahasan mereka bukan hal seserius ini, Jeonghan pasti sudah menggoda kekasihnya itu.
“Kenapa...? Maksudku, aku pikir kamu mau...yah...”
“S-soalnya,” Mingyu menjawab dengan terbata-bata. “Gyu kan belum pernah, Kak. Gyu nggak tau apa yang harus Gyu lakuin. Emang sih udah riset juga, nyari di inet, tapi kan...teori sama praktek itu beda.”
Lalu, anak lelaki itu, yang besar namun menggemaskan itu, menatap Jeonghan malu-malu dari bawah bulu matanya. Lidahnya menjulur sedikit, menjilat bibirnya yang kering dengan gugup.
“Gyu...Gyu nggak mau nyakitin Kakak. Makanya, biar aman, Kakak aja yang ajarin Gyu, biar Gyu nggak, eh, ada nyakitin Kakak, gitu...”
Oh. Oh. Kim Mingyu.
“Kamu bener-bener yakin? Bener-bener yakin banget mau aku yang ambil perawan kamu di belakang sana?”
Malunya menjadi-jadi. Kim Mingyu mendengking, sementara rona merah menjalar ke cuping telinga serta lehernya. Namun, bagi Jeonghan, Mingyu nampak semakin dan semakin menggemaskan saja.
“Kak Han...Gyu malu jawabnya ah...”
Oh, Kim Mingyu...
Bak dibanjuri ratusan hati yang terbang, Yoon Jeonghan pun tak kuasa menahan diri untuk tidak merenggut kepala kekasihnya lalu menariknya paksa sampai bibir mereka berbenturan. Mingyu meringis karena sakit yang terasa. Sepertinya luka, tapi bibir Jeonghan membuatnya dengan cepat melupakan fakta tersebut. Tak sampai beberapa detik, Mingyu menaikkan Jeonghan agar duduk di pangkuannya. Lengan melipat di pinggul kekasihnya. Bagian depan celana mereka pun bergesekan.
Mingyu mengerang. Jeonghan mendesah, menggigiti sisi leher Mingyu, sebelum dia balik mengecup bibir dan berkata dalam suara parau, “Ke kamar?”
Mingyu terkekeh. Ia senang. Berada dalam kontrol lelaki yang memiliki seluruh hatinya, ia sangat senang. Bulu kuduk di punggungnya berdiri akan antisipasi. Dia tahu Jeonghan akan sanggup mendominasinya sebagai top yang baik. Tapi, sebelum Mingyu merintih di bawah kecupan, jilatan, sentuhan dan gigitan sang kekasih, dia akan memanfaatkan besar tubuh dan tenaganya untuk menggendong Jeonghan sampai ke kamar tidurnya.
So he did.