237.
“Jeon Wonwoo.”
“Hmm.”
”...Lagi ngapain?”
Wonwoo mendelik, menemukan sebuah kepala mengintip dari ambang pintunya. Kepala itu berwajah cemas, jelas-jelas menunggu jawaban dari yang ditanya. Wonwoo menghela napas.
“Lagi ngerjain tugas anak-anak.”
“Ooh,” hening sejenak. “Dah maksi belom?”
Iya juga ya. Wonwoo lupa belum makan. Tadi pas nungguin Catherine cuma minum doang, itu pun air putih yang entah gimana caranya harganya melambung tinggi cuma gegara ditaro di dalem botol beling fancy. Udah gila emang dunia, ladang kapitalis semua.
“Belom.”
“Gue pesen pizza...uh...nggak apa kan? Udah otw sini sih...”
Menghela napas lagi, ia, akan ulah Kwon Soonyoung. Terlepas dari janjinya, anak itu tetap saja impulsif. Tapi, karena kali ini hasilnya bakal simbiosis mutualisme, Wonwoo pun mengamini.
“Oke.”
Paras anak itu seketika berubah ceria. “Oke!” serunya. “Ntar kalo udah sampe, gue kasi tau yah!”
“Hmm.”
Kemudian, wajah itu menghilang, meninggalkan Wonwoo kembali tenggelam dalam kesibukan.
==
Pizzanya enak. Wonwoo kira yang datang bakalan pizza komersial harga 100 ribuan dapet sepaket besar, ternyata dia meremehkan kemampuan Kwon Soonyoung menghamburkan duit untuk hal yang nggak perlu.
(“Enak nggak?”
“Mayan. Berapaan?”
“Nggak tau. 400-an kayaknya.”
“UHUK!”
“EH, ATI-ATI—”
“PIZZA APAAN SEGITU??”
“Eh?? Uh, pizzanya 200an gue beli dua...?”)
Geleng-geleng kepala. Untungnya Kwon Soonyoung segera mengklarifikasi kalau ini biaya makan personal dan dia bagi makanannya ke Wonwoo, alias bukan menambah utang Wonwoo ke dia. Beneran deh, semakin lama Wonwoo menghabiskan waktu sama anak Kwon, makin rusak kayaknya standar harga di otak. Kwon Soonyoung itu bahaya banget buat logika Jeon Wonwoo.
“Jeon Wonwoo...”
Lagi-lagi, kepala itu mengintip dari ambang pintu. Nggak tau udah berapa kali Wonwoo menghela napas.
“Apa lagi sihhhh....”
“S-sori, umm...,” agak kelabakan menjawab. “...bosen nih...”
Ya iyalah bosen. Di rumah Jeon, cuma ada televisi kecil sebiji. Udah. Duduknya ngemper di lantai pula.
“Kalo bosen, pulang gih.”
Wajah itu merengut. Hadeeeh pusing, ketahuan banget maunya apa. Capek, Wonwoo mah, capek...
“Sini.”
Sumringah sedikit, Kwon Sooonyoung hampir melompat masuk kamar Wonwoo, lalu duduk di sebelahnya. “Lo nggak capek nulisin tugas temen-temen lo?” langsung kepo sambil menelisik kertas-kertas yang bertebaran di meja. Selain tugas, ada juga fotokopi catetan yang udah dikasih post it nama masing-masing. Rupanya jualan fotokopi catetannya juga, si Wonwoo.
“Capek,” ya iya. “Tapi daripada gue opname lagi kayak kemaren terus ngutang sama lo lagi, mending capek nulis ginian.” Dia diam sejenak sebelum memutuskan untuk melanjutkan. “Biarin dapetnya nggak seberapa, lumayan buat idup gue. Buat beli bubur sama odol.”
Kwon Soonyoung bergumam. Kemudian, untuk sesaat, kamar itu hanya dipenuhi oleh suara goresan bolpen pada kertas juga jalannya jarum jam dinding. Karena nggak ada kursi, Soonyoung bergerak sedikit agar punggungnya bisa bersandar di sisi ranjang Wonwoo, seperti posisi Wonwoo di sebelahnya saat ini.
“Jeon Wonwoo...”
“Hmm.”
“Boleh nanya?”
“Hmm?”
”...Bokap lo ke mana?”
Kerjapan mata.