239.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” sambut seorang wanita berparas ramah di teras depan, membukakan pintu untuknya. Ketika wanita itu tersenyum, Wonwoo langsung tahu ia tengah berhadapan sama siapa. “Ini Wonwoo Wonwoo itu ya?”
Wonwoo Wonwoo...
“Iya, Tante, hehe,” senyum memamerkan geliginya mengembang. Wonwoo menaikkan kacamata bulatnya. “Punten, Tante, Sunyongnya aya?”
“Aya, aya,” diajaknya Wonwoo ke ruang tamu. “Ayo duduk dulu, Tante panggilin ya. Lagi mandi sih tadi kayaknya.”
Wonwoo manut, kemudian duduk anteng di sofa depan sambil melihat-lihat rumah kekasihnya dibesarkan.
Cukup luas, walau tidak mewah, tapi hangat. Ruang terbukanya banyak. Jendela juga. Halaman belakang kelihatan dari tempatnya duduk. Banyak cahaya. Lapang.
Cerah.
Mirip Soonyoung.
“A,” itu Sonyoung. Langsung Wonwoo mau beranjak, namun melihat siapa yang bersama kekasihya, ia mengurungkan niat. Seorang pria dengan keriput kentara di sudut-sudut matanya datang. Dia tersenyum juga melihat Wonwoo. Wanita tadi pun mengekor di belakang mereka, sebelum mereka berdua mengambil tempat di sofa seberang Wonwoo. Soonyoung sendiri duduk di samping Wonwoo.
“Pah, Mah, kenalin,” Soonyoung memulai. “Ini Jeon Wonwoo. Pacarnya Adek.”
Adek. Jadi itu panggilan Soonyoung di keluarga ini. Gemes banget. Wonwoo juga kepingin manggil Soonyoung 'adek'.
“Siang, Om, Tante. Saya Wonwoo,” ia pun mengangguk, agak membungkuk, sebagai salam. “Biarpun saya baru pacaran sama Sunyong dua bulan ini, tapi saya udah niat nikahin anak Om dan Tante.”
Pas Wonwoo gamit tangan Soonyoung di atas pahanya, pipi Soonyoung pun memerah.
“Kemarin juga saya kenalin Sunyong ke Ibu sama Bapak saya, juga keluarga saya di kampung.”
“Oh? Kemarin Adek pergi tuh dikenalin ke calon mertua?”
“I-iya, Pah...,” Soonyoung meneguk ludah.
“Emang kampungnya di mana, Nak Wonwoo?” tanya ibunya Soonyoung.
“Di kawasan XX, Tante, dari kota XX, naek bus lagi, terus jalan kaki dikit.”
“Hoo...jauh ya...”
“Ibu Bapak Wonwoo kerja apa, kalo boleh tau?”
Wonwoo meringis. “Ayah peternak bebek, Om. Kalo lagi musim, ngurusin sawah juga. Sama kebon. Ibu jualan sayur di pasar situ. Hamdalah sih lancar aja di kampung,” jelasnya.
“Hoo...”
“Ada sodara?”
“Ada, Tante. Kakak laki satu, sama adek laki juga satu.”
“Udah nikah kakaknya?”
“Udah. Abis nikah, balik ke kampung. Makanya bisnisnya dikasih ke saya.”
“Oh ya? Bisnis apa?”
“Itu, Tante, ju—”
“Wonwoo punya start up kecil-kecilan, Mah.”
Kaget, Wonwoo menoleh. Soonyoung barusan memotongnya. Ia ingin tahu alasan kekasihnya apa, tapi melihat ekspresi Soonyoung yang seolah ingin meyakinkan orangtuanya, ia hanya bisa diam.
“Fintech. Aplikasi gitu. Abangnya kerja sama gitu sama temen-temennya, tapi terus Wonwoo yang ambil alih,” ia berbicara terburu-buru, mengacuhkan Wonwoo yang menatapnya heran. “Dia sibuk banget, Mah, Pah. Makanya baru sempet Adek kenalin sekarang.”
....
“Oh ya. Bagus itu. Fintech lagi booming, emang. Masa depan kalian bisa tenang, itu.”
“Iya ya. Adek juga marketing kan, bonusnya lumayan kan. Mamah tenang deh kalo gitu,” senyum ibunya.
Soonyoung ikut tersenyum lebar.
......
............Oh.
Wonwoo paham sekarang.
Soonyoung malu akan profesinya yang cuma tukang jualan cimol di belakang gedung kantor.