narrative writings of thesunmetmoon

240.

#gyuhaooffice

“A...”

Soonyoung menghampiri Wonwoo dari belakang. Setelah percakapan mereka, Soonyoung melipir ke dapur untuk membantu ibunya menyiapkan makan siang (yang dengan sigap diusir ibunya supaya Soonyoung menyiapkan meja makan saja). Wonwoo diajak mengobrol oleh ayah Soonyoung di teras halaman belakang, sebelum ia ditinggalkan seorang diri karena handphone ayah Soonyoung berbunyi.

Soonyoung menemukan kekasihnya duduk sendirian saja memandangi halaman belakang mereka.

“Aa...,” dikalungkannya lengan ke leher Wonwoo. Yang dipanggil hanya diam.

Berdua, mereka memandangi langit hari itu. Mendung, padahal tanah masihlah basah oleh hujan semalam. Intensitas hujan memang sedang tinggi-tingginya hari ini dan prakiraan BMKG pun terkadang meleset. Sebentar lagi, mungkin hujan akan turun.

“Sunyong,” nada Wonwoo tenang. “Duduk dulu yuk. Aa mau ngomong.”

Degup jantung agak berpacu, Soonyoung menurut. Ia duduk di sebelah Wonwoo. Meski begitu, omongan yang dijanjikan tidak langsung datang. Wonwoo memainkan jari-jemari Soonyoung untuk beberapa saat. Dielusnya tangan itu dengan lembut.

Saking lembutnya, tiap elusan seolah Wonwoo mau bilang 'Sayang Sunyong, sayang Sunyong' sampai meresap ke pori-pori kulitnya, sampai rasanya Soonyoung ingin menarik tangannya dari sana.

“Sunyong...,” Wonwoo kalem banget ngomongnya. Seadem ubin masjid. Bikin Soonyoung makin takut. Dia berkali-kali menelan ludah, berharap bukan topik itu yang diangkat Wonwoo.

Please, please, please...

“Soonyoung malu punya suami tukang cimol?”

Deg!

Soonyoung makin rapat menutup mulut. Kepalanya pun menunduk. Wonwoo cuma tersenyum lemah sambil terus menggenggam tangan kekasihnya.

“Maafin Aa ya? Aa belom bisa jadi calon yang pantes dibanggain sama Sunyong, sampe Sunyong perlu ngebohong kayak tadi-”

“BUKAN GITU!”

Dia menggenggam tangan Wonwoo balik, lebih erat, menghentikan ucapan Wonwoo.

“Bukan gitu, A...,” ia menggeleng. “Bukan..bukan gitu...” Lalu, mendongak, menatap mata Wonwoo di belakang lensa. Rasa takut tersirat, bersirobok dengan pandangan kecewa Wonwoo padanya, membuat suara Soonyoung mulai bergetar, terburu-buru.

“Aku nggak pernah malu sama kamu. Aku nggak malu sama kerjaan kamu. Kalo kamu nggak jualan cimol, kita nggak akan ketemu, nggak bakal kayak gini. Aku nggak akan pernah sebahagia ini, A....”

Bibir bawah Soonyoung bergetar. Ingin menangis, tapi dia sadar dia harus meluruskan semuanya. Lebih dari apapun, Soonyoung paling tidak ingin membuat Wonwoo marah. Dadanya sesak oleh buncah ketakutan dan rasa sayang.

“Tapi...tapi kalo aku nggak bilang gitu, aku takut papa mama aku nggak setuju sama hubungan kita...”

Wonwoo masih diam mendengarkan.

“Aku punya kakak. Perempuan. Dia pacaran pas SMA. Hamil. Kabur. Dia bikin marah papa mamaku. Nggak dengerin kata mereka kalo pacarnya itu bukan anak bener. Terus kakakku...meninggal pas ngelahirin bayinya,” tangan Soonyoung mulai gemetar, sehingga Wonwoo kembali mengelusinya. “Bayinya nggak tau dibawa ke mana. Sampe sekarang, mama papaku nggak pernah liat cucu mereka.”

Ia menarik napas dan menjilat bibirnya yang tetiba kering.

“Makanya mama papaku jagain aku banget, A, selalu bilang ke aku kalo ati-ati milih pacar. Cari yang mapan, baek, bisa kasih kamu masa depan. Cinta nggak akan bisa ngisiin makanan ke perut. Cinta itu cuma sementara, bakal pudar kalo uang udah jadi masalahnya. Liat kakak kamu, katanya. Gara-gara cinta, dia nggak ada sekarang...”

Hening. Udara di sekitar mereka berat. Soonyoung tidak berani mengangkat wajah. Tidak tahan bila harus menerima pandangan Wonwoo saat ini padanya. Takut. Dia takut Wonwoo akan pergi setelah tahu alasannya.

“Sunyong...”

Degup jantungnya makin kencang.

“Ketemu sama orangtua kamu lagi yok? Ada yang mau Aa sampein ke mereka.”

Soonyoung menatapnya, terbelalak. Cemas.

“Tenang aja.”

Sementara Wonwoo hanya tersenyum manis padanya.