241.
Di bagian bawah apartemen murah bertingkat enam itu ada sebuah taman sederhana yang dimaksudkan untuk penghuni beristirahat sejenak di antara pepohonan. Meski tidak serindang dan seindah yang diharapkan pada awalnya, setidaknya ada bangku panjang dari kayu yang muat untuk diduduki tiga orang dewasa sekaligus. Namun, keberadaan taman umum yang tidak jauh dari situ membuat taman apartemen hampir selalu sepi manusia, sehingga Jeon Wonwoo dan Kwon Soonyoung dapat duduk di sana untuk menenangkan diri.
Semilir angin dan gesekan sayap serangga membuat suasana terasa semakin asri. Tidak butuh waktu lama bagi Kwon Soonyoung untuk tersapu dalam indahnya cuaca hari itu. Awan-awan tebal berarak di langit yang biru benderang, meneduhkan bumi di bawah naungan mereka. Segera saja ia melupakan perihal salah bicara maupun perihal Kim Mingyu dan Yoon Jeonghan.
“Soal bokap gue...”
Hanya untuk diingatkan kembali dengan mendadak oleh Jeon Wonwoo.
Kwon Soonyoung menunduk. Bibir bawahnya ia gigit kuat, membuatnya memerah. Digamitnya lagi bagian bawah bajunya.
”...gue nggak bakal tanya dari mana lo tau. Kayaknya lo udah tau semua hal soal gue...”
...Bukan.
”...dan percuma gue marah juga karena lo nggak bakal peduli gue marah ato enggak privasi gue lo ubek terus...”
Bukan. Bukan gitu. Bukan!
Kwon Soonyoung dengan cepat mendongak. Ia membuka mulut, hendak memotongnya dengan penyanggahan (pembelaan diri, mungkin), tetapi lidahnya mendadak kelu karena dilihatnya Jeon Wonwoo memandanginya dengan ketenangan yang ganjil. Suatu ekspresi yang Soonyoung tidak yakin sesuai dengan kondisi mereka saat ini. Tidak yakin sesuai dengan kepribadian Jeon Wonwoo yang ia kenal sampai detik ini.
Ketenangan yang...mengerikan...
“Bokap gue pergi.”
Sentakan napas terdengar.
“Nggak ada yang istimewa juga. Gue bangun, mau kuliah, terus rumah ya sepi aja gitu. Gue cari dia di kamarnya, di kamar mandi, di dapur. Gue buka pintu depan. Dia udah nggak ada sama sekali. Ilang.”
Wonwoo meneliti air muka Kwon Soonyoung. Sengaja. Ia ingin tahu bagaimana reaksi anak itu ketika ia sendiri yang menyuapinya dengan informasi pribadi. Penasaran, apakah tindakannya ini bisa mencegah pelanggaran privasi lain oleh Kwon Soonyoung, bila dia bisa mendapatkannya dari Wonwoo sendiri?
“Di satu sisi, setengah jiwa gue kayak lenyap. Bokap gue pergi. Gue ditinggal sendirian gitu aja kayak sampah di jalanan. Di sisi lain, gue seneng.”
Di sini, Kwon Soonyoung membelalakkan mata.
“Gue seneng...,” ulangnya. “...soalnya gue bisa bebas dari dia.”
Bebas dari apa? Bebas kenapa? Jeon Wonwoo enggan mengutarakannya. Walau dia harus kerja banting tulang untuk membayar kebebasannya itu, tidak apa-apa. Sepadan nilainya dengan kebebasan yang sekarang dia miliki.
Kwon Soonyoung masih menatapnya hampir tidak berkedip. Jeon Wonwoo membiarkan anak itu menyerap semua ketenangan pada parasnya, membiarkan anak itu membuat suatu teori sendiri di dalam benaknya. Ia tidak perlu menjawab secara sempurna. Tidak perlu memberikan seluruh detail dalam cerita tersebut.
Ayahnya pergi meninggalkannya, itu benar. Dia tinggal sendirian, itu juga benar.
Hanya itu yang Kwon Soonyoung boleh tahu.
”......,” Soonyoung menunduk. Alisnya mengerut, berpikir keras.
Wonwoo berkedip.
“Udah?”
“Eh?”
“Udah puas sama jawaban gue?”
Kwon Soonyoung harus bilang apa? Tentu saja dia tidak bisa jawab apa-apa. Dia hanya mengangguk satu kali. Wonwoo menghela napas berat.
“Sori juga soal, uh, Mingyu. Gue emang bilang ke dia kalo gue bakal pergi siang ini, tapi ya tetau batal.”
“Oh? Kencan lo batal? Pantesan tadi kok cepet...”
“Kencan apaan coba,” lelah banget. “Keket tuh temen gue. Bukan cewek gue.”
“Kenapa?”
“Apa?”
“Kenapa nggak jadi cewek lo aja?”
“Haaah?? Lo makin ke sini makin aneh aja nanyanya ya gue liat-liat,” kesal, Jeon Wonwoo menoyor jidat Kwon Soonyoung. “Bodo amat bokap gue ke mana. Bodo amat kenapa Keket bukan cewek gue. Napa lo yang repot deh, ngurusin banget idup gue?? Idup lo sendiri gimana?? Lo nggak pernah cerita apa-apa ke gue!”
Soonyoung mengusap dahinya yang ditoyor Jeon Wonwoo. “Uuhhh...s-soalnya idup gue gitu-gitu aja?? Cuma kuliah terus di rumah??” protesnya. “Ehhh, oh iya, Joshi mau kuliah. Kayaknya.”
“Hahh?? Anjing penjaga lo itu? Jangan bilang di kampus kita...”
Kini, Kwon Soonyoung memberengut. “Joshi bukan anjing penjaga! Dia sahabat gue! Kok lo ngomongnya gitu!” protesnya.
“Suka-suka gue mau manggil dia apa! Dia udah nonjok gue gegara lo!”
“Y-ya kan namanya orang bisa khilaf!”
“Masih sakit tau!”
“Masa??” refleks, Soonyoung menangkup wajah Wonwoo. “Mana sini gue liat—”
Mata Wonwoo melebar. Mata Soonyoung juga, saat menyadari di posisi apa mereka. Duduk berdua di bangku panjang, bersisian, dengan kedua tangan Soonyoung di pipi Wonwoo. Secara harfiah, napas mereka berdua terhenti beberapa detik, sebelum Wonwoo membekap muka Kwon Soonyoung dan mendorongnya menjauh secara paksa.
“Nggak usah deket-deket. Najis.”
“Izh fuweh vukhan hanjis!”
Lagi-lagi, helaan napas yang berat. “Fuck. Gue harus di luar sini sama nih anak sampe kapan sih,” gerutunya. “FUCK YOU, KIM MINGYU! BURUAN NGEWENYA, GUE MAU KERJA!”
Teriakan yang disusul oleh kepakan sayap burung bertolak dari pepohonan.