253.
“Nih.”
“Eh? Apa nih, Bang?”
Minki mengulurkan sekotak cokelat pada Minghao yang tengah menikmati pastel tutup, kudapan yang disediakan pemuja rahasianya. Gambar pada kotaknya membuat mata Minghao melebar senang.
“Cokelat kodok!” serunya, membuat Jihoon dan Mingyu ikut mengintip.
“Bagi-bagi ya. Buat lo nih, Bang,” sekotak lagi diberikan kepada Jihoon.
“Mm. Thanks,” ia menerima dengan anggukan. “Gimana trainingnya di Jepang sana?”
“Cukup banyak sih yang menarik. Besok Senin di meeting departemen, gue share, Bang.”
Jihoon mengangguk lagi. Minghao tidak mendengar percakapan mereka, terlalu sibuk memfoto kotak cokelat itu. Kemudian, ia membukanya. Kira-kira ada 10 butir cokelat di sana, masing-masing berbentuk kodok yang berbeda gaya. Makin rajin pula ia mengangkat dan mendoyongkan handphonenya, menjepret dari berbagai sudut.
“Gyu mau yang mana?” nadanya ceria saat dia menoleh pada Mingyu yang senantiasa sibuk menekan tuts-tuts keyboardnya. Banyak kerjaan yang ia ingin selesaikan sebelum akhir pekan ini
“Yang mana aja boleh. Gue satu aja,” menjawab, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
“Satu aja? Seorang dapet lima, lho?”
“Satu aja. Buat lo aja sisanya.”
“Seriusan?”
“Iya.”
“Beneran nih gue ambil? Nggak apa-apa nih?? Ikhlas???“
Mingyu mendengus geli. “Iyaaa, Hao,” ucapnya.
“Ya udah. Nih,” hendak ia mengambil tissue untuk mengangkat salah satu cokelat dari kotaknya, namun Mingyu menyela.
“Aaa...,” Mingyu membuka mulut. Mukanya ke arah Minghao, walau kedua mata tetap ke layar komputer.
Minghao memandangnya bingung, sejenak, sebelum menyadari apa yang Mingyu minta. Rona malu pun menjalar ke pipinya dengan cepat. Meski begitu, ia mengambil sebutir cokelat dengan ibu jari dan telunjuk, lalu dibawanya cokelat itu ke bibir Mingyu.
Barulah ketika Mingyu menggigit cokelat di bibirnya, ia menatap Minghao tepat di mata. Dadanya terasa sesak. Pipinya memerah indah. Hampir tangannya gemetar, ketika Mingyu memakan habis cokelatnya, lalu menjilat bibirnya dari sisa cokelat.
“Trims...”
“Mmm...,” Minghao menunduk, sebagian menyembunyikan malu, sebagian lagi untuk menjilati jarinya sendiri dari cokelat yang menempel. Ia luput melihat bagaimana pupil Mingyu mengecil dan ia buru-buru membuang muka, meneguk ludah, untuk mencegah pemikirannya menjalar kemana-mana.
”..............Kalian, jadian ya?”
Itu Minki. Begitu Minghao mendongak, ada dua pasang mata tengah menonton mereka. Makin terbakarlah pipinya.
“Bu—”
“Lagi usaha sih, Bang, doain aja ya,” seloroh Mingyu, santai, seolah tidak sedang mengumumkan pada rekan dan bosnya mengenai status personal mereka. Yang, tentu saja, dihadiahi Minghao sekelebat gaplokan pada lengan atasnya. Mingyu hanya tertawa pelan, membiarkan Minghao semakin tenggelam dalam malunya.
“Oh gitu. Semangat, Gyu,” ucap Minki.
“Hmm,” Jihoon bergumam. Ia masih menelisik wajah Minghao. “Is that okay, Hao?”
Masih merona, Minghao mengangguk pelan sekali.
“I see,” Jihoon mengulurkan kotak cokelat kodoknya pada Minghao. “Buat lo aja. Makan bareng Mingyu ya.”
Ekspresinya seketika berubah menjadi terkejut, lalu ia tersenyum ceria, menerima sekotak cokelat lagi. Mingyu ikut tersenyum melihatnya.
He is well loved, indeed.