26.
“Adek...”
Ketukan pada pintu kamar tidur bercat putih, lagi. Tepat di bagian atas pintu tersebut, ditulis indah di atas papan cantik, adalah nama yang ia dan Mingyu diskusikan dalam rentang kehamilan yang panjang. Nama yang dihembuskan dalam kelegaan serta penantian, di tengah tetes air mata kelelahan akan persalinan.
Nama yang ia panggil dalam permohonan saat ini.
“Adek...,” ia mengetuknya lagi. “Adek, ayo makan dulu, Sayang...nanti Adek sakit...” Ketukan demi ketukan. “Adek...”
“Hao.”
Cepat, ia berbalik. Dan, cepat, ia memeluk suaminya, mencari perlindungan di sana. “Oh, Gyu...,” desahnya frustasi. “Dia nggak mau buka pintu. Kakak bilang, dia belum makan...nanti dia sakit...aku harus gimana...”
Rahang Mingyu mengencang. Ia menggertakkan gigi. “Kakak di mana, Ma?” tanyanya.
“Di ruang tengah, Pa...”
“Keadaan kakak gimana? Masih ketakutan?”
“Nggak, dia udah baikan...udah lebih baikan..”
“Kakak bilang ke kamu, nggak, yang bikin dia ketakutan tuh apa?”
Sedih, Minghao menggeleng.
“Ya udah. Kamu ke kakak aja, Mah, biar aku yang ngebujuk adek,” Mingyu melepaskan pelukan suaminya.
Minghao memandang wajah lelaki itu. Ada jejak air mata yang mulai mengering di kedua pipinya. Dengan lembut, ditelusurinya jejak basah itu.
“Papa jangan nangis...,” bisik Minghao.
“Udah nangis,” suaminya tertawa perlahan. “Nggak apa-apa. Ini salah aku, Ma, harusnya aku dengerin kamu. Maafin aku ya? Jadi runyam gini. Padahal kamu lagi sibuk kan, lagi ekspansi?”
Lagi, Minghao menggeleng. “Kamu juga sibuk, Pa. Ini salah kita berdua. Mungkin kita harus ambil cuti dan ajak anak-anak liburan,” jemari Minghao tidak berhenti mengelus pipi suaminya, hingga pada akhirnya, Mingyu mengambil jemari itu untuk dikecupnya sayang.
“Nanti kalo proyek aku kelar dan ekspansi kamu sukses, kita liburan ya? Berempat. Ke mana aja yang kamu sama anak-anak mau, Ma...”
“Mm,” Minghao tersenyum. Sesaat, ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan anak-anak mereka tidak ada di sana, sebelum mengalungkan lengan ke leher suaminya dan menciumnya mesra.
Bibir yang saling mengenal satu sama lain. Bibir yang telah mengingat rasa, bentuk, dan kesenangan masing-masing. Mingyu mengulum bibir bawah suaminya, menghadiahi dirinya dengan desahan bahagia sang kekasih. Tidak lama, kuluman itu berpindah ke bibir atas. Minghao yang membuka mulutnya, pasrah digoda suaminya, hanya bisa mengerang tertahan dan, tanpa sadar, menjulurkan lidah untuk menyapu kecil bibir Mingyu.
Di sinilah Mingyu berhenti memainkan bibir Minghao. Satu ciuman terakhir ia berikan untuk menutup permainan sebelum semakin membahayakan. Mereka tidak mungkin bercinta di depan kamar anak mereka, Ya Tuhan...apalagi mengingat ini bulan puasa...
Kelopak mata Minghao masih setengah terpejam, masih menerawang. Bibirnya masih memerah dan basah. Pipinya masih merona. Mingyu tak kuasa untuk tidak menangkup pipi itu dan menciumnya lagi, melanggar janjinya pada diri sendiri.
”...Aku bujuk adek dulu.”
“Mm...”
“Kamu temenin kakak ya, Ma...”
“Mm...,” meski begitu, Minghao malah berjinjit untuk menempelkan lagi bibirnya ke bibir Mingyu.
“Mah...,” geraman, walau sejujurnya tak rela menjauh. “Mah....nanti...”
“Mm...janji ya Pa?”
“Janji...”
Kening mereka saling menempel. Sudah lama sekali mereka tidak menghabiskan waktu berdua seperti ini. Akibat kesibukan perusahaan mereka masing-masing serta teman-teman mereka, juga perihal kedua anak mereka yang mulai menginjak usia remaja, maka waktu yang mereka korbankan adalah waktu bermesraan. Malam demi malam dilewati dengan terlelap kecapaian dalam dekapan satu sama lain. Tapi, sepertinya malam ini akan berbeda dari dua minggu belakangan.
“Good luck, Pa,” Minghao mengecup pipi Mingyu satu kali, sebelum menjauh dengan berat hati, menyerahkan masalah membujuk anak gadis mereka pada Mingyu.
Suaminya itu hanya tersenyum miris, lalu mulai mengetuk pintu kamar.
“Adek, ini Papa, Nak.”
Adalah kalimat terakhir yang Minghao dengar sebelum ia menuruni tangga menuju anak sulungnya yang tengah menunggunya di ruang keluarga.