26.
Wonwoo menguap sampai matanya berair, lalu ia seka agar kembali kering. Seharusnya ia tau lebih baik daripada mulai membaca buku baru (yang, sialnya, seru) di jam 10 malam. Kalau bukan karena ia memaksakan diri untuk tidur saat jam di dinding bilang sudah pukul 1 pagi, mungkin Wonwoo bakal terlambat ke sekolah untuk pertama kalinya, memecahkan rekor sempurnanya selama setengah tahun.
“Nguap mulu lo,” Jun, sambil ketawa, menepuk buku notes perlahan ke belakang kepalanya.
“Ngantuk gue.”
“Let me guess,” anak itu duduk di bangku depan Wonwoo karena pemiliknya lagi pergi makan siang ke kantin. Jun sendiri mulai membuka sandwich yang dia beli pagi hari tadi di konbini, sedangkan Wonwoo menyeruput susu pisang dan menguyah crackers sayur. “Game? Ato buku?”
“Yang terakhir.”
Jun manyun, “Kirain gegara chat-chatan sama cewek.”
Wonwoo mendengus, “Bangsat, gue hampir keselek susu.”
Yang disumpah serapah malah nyengir.
“Lo berdua makan itu doang?” dengan alis terangkat sebelah, Jihoon menyampiri mereka. Ia menggeret bangku dari sebelah meja Wonwoo dan duduk di sisi samping. Sambil mengunyah onigiri isi salmon, anak itu ikut dalam obrolan. “Makan yang banyakan napa sih, Won, lo kayak cencorang.”
“Badan burung,” Jun setuju. “Gue masih ada sandwich satu lagi. Mau?”
“Gue lahir udah kek gini kali, anjir lu pada,” decakan. “Dan nggak usah, Jun, gue dibawain bekal sama Mingyu tapi gue belom laper. Palingan ntar gue curi-curi makan pas jam ke tiga.”
“Hoo..,” Jihoon menggigit lagi nasinya. “...Mingyu tuh pacar lo ya?”
Wonwoo keselek lagi, lalu batuk-batuk. Jihoon, semi-kasihan, semi bertanggung jawab, menepuk-nepuk punggung temannya itu.
”...Hah?” tukas si anak berkacamata.
“Sori, sori. Abisan kayaknya sering banget dia masakin lo bekal dan sering lo sebut juga. Dan, yah, lo nggak ada gue liat naksir cewek. So...just put two and two together...”
Dengan santai, anak klub baseball tersebut menaikkan bahu.
“Sori, kalo gue salah-”
“Salah,” sanggah Wonwoo cepat. Matanya mendelik ke arah Jihoon, menyatakan ketidaksukaan terhadap tuduhan tak berdasar barusan. Jangan salah paham. Ia marah bukan karena ia dibilang menyukai sesama jenis, tapi karena Mingyu kan pacarnya abang Wonwoo sendiri. Rasanya sangat...salah kalau orang lain mengira mereka yang pacaran. “Salah banget. Mingyu bukan cowok gue. Gue emang belom nemu cewek yang menarik, tapi bukan berarti gue orientasinya ke sana.”
Jihoon mengangguk-angguk, meminta maaf lebih lanjut. Jun, yang sedari tadi diam menonton mereka, langsung memotong.
“Terus, Mingyu itu siapa dong?” ditelannya gigitan roti terakhir. “Kokh bhisa bhikhinin hlo bhekal muru?”
...Wonwoo harus jawab apa?
“Dia...,” bingung banget. “...temen abang gue.”
Kalau Jun dan Jihoon saling lihat-lihatan, Wonwoo tidak mau menyaksikan. Ia tetap menunduk memandangi kotak susu di dekapan tangannya. Ia merasa seharusnya bukan dirinya yang membuka hubungan abangnya, karena itu bukanlah haknya. Seharusnya Seungcheol atau Mingyu yang memberitahu ke dunia. Bukan Wonwoo. Wonwoo berusaha menjaganya tetap rahasia. Ia tidak akan menjadi penyebab retaknya kehidupan sosial Seungcheol dan Mingyu, andaikata masyarakat belum bisa menerima mereka.
Namun, keheningannya ditangkap lain oleh kedua temannya. Jihoon berdeham, membersihkan tenggorokan sebelum mulai berbicara, lebih hati-hati sekarang.
“Won, emm, lo nggak perlu sungkan sama kita soal...,” Jihoon melirik ke arah Jun, yang dibalas anak itu dengan anggukan. “...soal hubungan sesama jenis. I mean, kita open kok sama itu. Ya kan, Jun?”
Anak itu terus mengangguk.
“Won.”
Dipanggil Jun, Wonwoo mendongak.
“Lo tau kan kalo gue pernah pacaran ma cowok?”
Wonwoo mengedip satu kali. Terhenyak.