261.
“Hao, kamu mau bayi?”
Mendengar itu, tubuhnya menegang dalam pelukan Jun. Mereka tengah duduk di sofa dengan kepala Minghao merebah di pundak Jun dan lengan bertautan pada tubuh satu sama lain. Minghao sedang tenggelam dalam serial Netflix yang disetel Jun ketika pertanyaan itu muncul.
Sang Beta menoleh perlahan. Ia berusaha membaca ekspresi Alpha-nya, namun gagal dengan sukses.
“Kenapa? Kamu nyesel aku nggak hamil?” Minghao tersenyum. Manis dan mematikan.
“Iya. Enggak,” ia menggelengkan kepala. “Bohong kalo aku bilang aku nggak berharap kamu hamil. Bohong kalo aku bilang, pas aku denger itu, aku nggak langsung mikir andai kamu beneran lahirin anakku. Anak dari darah dan daging kita berdua.”
Hati Minghao ngilu mendengarnya.
“Tapi, itu nggak mungkin. Fatamorgana di padang pasir. Nggak ada apapun di dalam sini...,” tangan Jun mengusap perut Minghao yang rata sempurna. “Benihku nggak jadi nyawa di dalam kamu...tersia-siakan...”
“Jun.“
Sang Alpha tersadar. Ia buru-buru menarik tangannya, mendongak menatap Minghao. Tangisan tumpah membasahi kedua pipi Minghao. Jun terkesiap. Tanpa sadar, ia telah menyakiti Beta-nya dengan kata-kata yang ia ucapkan tanpa sadar.
“Kalo kamu-hiks-nyesel gigit Beta kayak aku, k-kamu boleh pergi, Jun, biar benih kamu nggak tersia-siakan! A-aku udah bilang-hiks-aku nggak bisa kasih kamu anak! Aku udah bilang!”
“Maaf, maaf!” Jun memeluk Minghao. Kenapa ia bisa lepas kendali dan membiarkan sisi Alpha-nya yang berbicara, ia tak paham. Bodoh. Bodoh, Jun. “Maaf, Hao. Maaf. Bukan itu. Maksudku bukan itu!”
“Terus apa????!“
“Aku nggak nyesel. Aku nggak nyesel gigit kamu. Aku nggak nyesel terikat sama kamu selamanya. Aku mau terikat sama kamu selamanya,” dielus-elusnya punggung Minghao. “Aku cuma...ngebayangin kamu hamil. Anakku di dalam kandunganmu. Bayi kita berdua. Telinganya lancip seperti kamu. Hidungnya mancung kayak aku. Dan kalo dia senyum, aku bisa liat bayangan kamu di dia.
Dan aku mau itu.“
Dikecupnya kening sang Beta.
“Aku mau itu sama kamu. Cuma sama kamu. Aku mau anak kecil yang lari semangat masuk ke kamar kita, bangunin kita pagi buta buat piknik ke luar. Yang main kejer-kejeran sama anjing kita di halaman terus pulang belepotan lumpur. Kamu marah dan aku cuma ketawa. Aku mau itu semua sama kamu, Xiao Hao...”
Minghao yang masih terus menangis, kali ini ditemani Jun yang juga ikut menangis, menggelengkan kepala di dada Jun.
”........Kamu pikir,” gumamnya tertahan. Terisak. Hampir tersedak ludahnya sendiri. “Kamu pikir aku nggak mau itu semua, Jun? Kamu pikir aku—” Ia hampir tercekik oleh emosi yang berkecamuk dalam dada. “Aku juga mau itu. Aku mau bisa ngasih kamu anak. Bisa ngelahirin bayi dari darah daging kita. Tapi, Jun,”
Minghao dengan sekuat tenaga menangkup wajah Jun, memaksanya menatap tepat di matanya yang sama-sama sembab.
“Aku cuma Beta. Aku nggak akan pernah masuk siklus heat. Aku nggak akan pernah punya rahim. Aku nggak akan pernah bisa hamil anak kamu, ngelahirin anak kamu.”
Air matanya menitik lagi.
“Kalo kamu mau hidup sama aku selamanya, kamu harus terima itu, Jun.”
Bisikannya melemah.
“Kamu nyesel gigit aku, Alpha?“
Satu, dua detik berlalu sebelum Jun menggeleng tegas. Disandarkannya kening ke kening Minghao.
“Aku nggak nyesel gigit kamu, Xiao Hao. Kamu nyesel aku gigit?”
Minghao tersenyum, melingkarkan lengan di leher Alpha-nya.
“Bego.”