narrative writings of thesunmetmoon

270.

#gyuhaooffice

”............Mingyu?

Kaget bukan kepalang, lelaki itu refleks berbalik. Bekalnya hampir saja jatuh dari tangan. Menyadari ke mana arah pandangan Minghao, ia gelagapan. Berusaha menutupi dengan menjauhkan kotak bekal itu, menyembunyikannya.

“B-b-bukan—ini—”

“Jadi....yang masakin gue........”

Perkataannya tidak pernah terselesaikan. Di depan kedua mata Minghao, lelaki itu pun memerah pipinya, menunduk karena tak berani menatapnya langsung.

Diam, mereka. Terlalu terkejut akan semua ini. Minghao masih tak mampu berkata-kata, sementara Mingyu terlalu malu untuk memulainya.

Pada akhirnya, Minghao lah yang memecahkan suasana.

”....Kenapa....?”

Mingyu melirik ke kanan, ke kiri, mengusrek kepala, lalu menggeram.

Menyerah.

”.....Soalnya,” gumaman yang hampir tak tertangkap telinga. “Soalnya itu satu-satunya cara yang gue tau buat bikin lo senyum, Hao....”

Meneguk ludah, Kim Mingyu memutuskan untuk memberanikan diri dan menjelaskan semuanya.

“Tadinya...tadinya gue udah nggak paham lagi gimana mau minta maaf...soal ngebohongin lo di bioskop itu...idk everything I did seems making you're mad at me even worse so I just...I thought...maybe making you food as peace offering is okay...

Terus...

Terus gue liat seberapa seneng lo makannya and that it taste good so I just....keep making more...like...

....I want to see you smile everyday....”

Kim Mingyu menghela kalimat terakhirnya, seakan melepas segala beban yang ia simpan baik-baik dalam dada. Minghao merasakan pipinya ikut terbakar, karena tatap Mingyu padanya sangat, amat lembut.

”....but...how....I mean, pas lo lagi nggak masuk pun...”

“Nitip Channie,” akunya, malu-malu. “Tadinya dia nggak mau karena, yah, he cares for you a lot, apalagi dia sempet jadi tumbal pas gue bohongin lo itu. But, you know,

at some point,

I fell for you....”

Mingyu mendekat, menutup jarak, menyisakan hanya sekelebat jeda di antara mereka. Berdiri berdua di pantry yang kosong. Minghao mampu mendengar bagaimana suara Mingyu merendah, sampai hampir menyerupai bisikan di telinganya, membuat jantungnya berdebar semakin kencang.

I fell for you harder than I've ever imagined...”

”...When...?”

“Dunno,” jawabnya. “I just know that I want to see you smiling everyday, as happy as I've seen you eating my dishes. I told Channie about it dan dia akhirnya bantuin gue naroin di meja lo. And it worked. You smile everytime you eat, even thanking me for them.”

Mingyu menunduk, di saat yang bersamaan, Minghao memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. Dahi mereka bertemu.

“Hao....”

Keputusan buruk. Jantung Minghao makin tak karuan, karena, terpejam begini, membuat ia makin bisa menangkap rasa sayang dalam tiap nada bicara Mingyu. Meluap-luap. Tanpa ditutupi.

Tak bisa dicegah lagi...

“I'll cook for you for the rest of your life if that means I can make you smile...”

...he knows it now, in what way.

“Gyu...”

Mingyu juga sama gugupnya. Ia mengangkat tangan, hendak mengelus pipi Minghao, hendak bertanya apakah dia diperbolehkan menyentuhnya, namun—

“Lho? Kalian di sini?”

--refleks, mereka masing-masing mundur satu langkah lebar. Sama-sama menoleh ke orang ketiga yang baru saja melangkah masuk pantry, tak terlalu memikirkan hal selain perutnya yang keroncongan.

“Makan apa, pada? WUADUH ENAK BANGET NIH?? Nasi padang gue kalah?? Buatan pacar lo apa gimana, Gyu??”

Yang ditanya malah melirik ke Minghao, sesaat, sebelum menjauh, mendekati Seokmin. “Buatan gue. Lu mau?” tawarnya.

“Eh seriusan?? Mau!! Hao, lu mau juga??”

Seokmin dan Mingyu berbalik, tetapi Minghao sudah pergi.