276.
Bunyi kunci diputar memberitahu Minghao bahwa sang empunya kamar kost telah pulang. Ia meninggalkan kenyamanan kasur Mingyu untuk menyambutnya. Dengan kaus gombrong dan celana pendek, serta buku di satu tangan, Minghao menyeret kakinya ke pintu depan.
“Lembur?”
“Mm,” Mingyu duduk di undakan kecil, berkutat dengan tali sepatunya. Minghao berdiri di sisinya, menanti Mingyu selesai melepas sepatu dan kembali berdiri.
Lelaki itu tersenyum, bergumam, “Aku pulang, Hao.”
Minghao, pun tersenyum, merengkuh leher kekasihnya dan mengecup bibirnya lembut.
“Met dateng...”
Lengan-lengan besar dan hangat bergerak langsung untuk memeluk balik. Bibir dikecup lagi dan lagi, membuat Minghao terkikik geli akan tingkah kekasihnya.
Sampai akhirnya, Mingyu menciumnya agak lama, lebih dalam, lidahnya ikut masuk menjelajah, membuat napasnya tertahan dan kakinya lemas.
Ketika ciuman itu terlepas tak rela (hampir dengan erangan protes Minghao, andaikata ia tak pandai mengendalikan hasratnya), bibirnya basah dan memerah, mendorong Mingyu untuk menekan bibir bawah Minghao dengan ibu jari, mengusap liur di sana, untuk kemudian dijilatnya ibu jari itu perlahan.
Menyaksikan itu semua, pipi Minghao kian memerah. Mingyu meringis jahil, sebelum menciumnya sekali lagi, terakhir kali.
“Kangen kamu,” bisik Mingyu.
“Tiap hari juga ketemu,” ketusnya.
“Kan aku lembur tadi, jadi nggak ketemu 4 jam. Kangen.”
Mau tak mau, Minghao terkekeh geli.
“Apaan sih. Manja,” ejeknya.
“Biarin.”
Mingyu menyenderkan kening ke kening Minghao, ikut terkekeh bersama kekasihnya, membiarkan ujung hidung mereka bergesekan.
“Bucin...”
“Emang...”
Tertawa, lalu kecupan ringan, sebelum Minghao memasuki ruangan dengan Mingyu menyusul di belakangnya.
“Aku tadi masak. Gyu udah makan?” Minghao menunduk di depan kulkas yang terbuka, mengambil beberapa tupperware. Sebulan ini, ia dilatih memasak oleh Mingyu atas permintaannya sendiri. Ia bersyukur karena Mingyu adalah guru yang sabar (walau sering menertawakan ketidak tahuan Minghao soal urusan dapur dan sukses membuat kekasihnya itu ngambek) dan, sekarang, ia sudah bisa membuat masakan sederhana.
“Belom,” Mingyu menarik lepas dasi dari kemejanya. “Kamu masak apa?”
“Tumis daging sapi pake cabe ijo,” ditatanya tupperware itu semua di atas konter dapur. “Telor dadar.” Kedua. “Tempe goreng.” Ketiga. “Sama sayur sop.” Tupperware terakhir kemudian diletakkan.
“Kok banyak banget?” kening Mingyu berkerut heran. “Gara-gara hari ini sebulanan kita ya?”
Minghao tertawa. “Oh iya ya? Aku malah lupa,” selorohnya. “Kamu mau nggak? Aku angetin nih.”
“Diinget dong, at least tanggal kita jadian,” Mingyu manyun, agak ngambek karena pengakuan Minghao barusan. “Mau. Kamu udah makan?”
“Udah.”
“Angetin seporsi aja kalo gitu. Biar bisa buat sarapan besok ato bekal kita.”
“Oke.”
“Aku mandi ya?”
“Iya, mandi sana,” Minghao menarik kerah Mingyu untuk mencium bibirnya lagi. “Abis mandi dan makan, aku mau ngomong......boleh, Gyu?”
“Hmm? Soal?”
“Ada sesuatu...,” ia diam saja ketika bibir Mingyu mengecupi bibirnya berkali-kali. “Nanti aja.” Akhirnya, ia membekap bibir Mingyu untuk menghentikannya dan mendorong wajah kekasihnya. “Udah, sana mandi! Bau ah kamu!”
Meski tahu itu bohong belaka, Mingyu tetap tersenyum, mengecup ringan telapak tangan Minghao, lalu, sambil bersiul santai, ia menuju kamar mandi.