28.
Gvidon Saltanovich mungkin diubah menjadi lebah untuk bergegas menemui ayahnya, sang Tsar, namun kali ini, Kwon Soonyoung lebih ingin seseorang datang menolongnya. Boleh dibilang, alih-alih takut ditendang lagi, ia lebih takut kalau keadaan menjadi jauh lebih buruk dari semula. Ia tidak berbohong pada Joshua akan statusnya, walau sekarang, mereka hanya berdiri berhadapan. Jantungnya berdetak cepat dan kencang bagai gesekan biola gibahan Rimsky-Korsakov tersebut.
Bahaya. Mayday.
Tanpa sadar, ia menelan ludah diam-diam. Jeon Wonwoo hanya diam di sana, cukup jauh dari dirinya. Di bawah terik mentari pagi, wajah orang itu mengernyit menatapnya, seolah menilai atau menahan kebencian. Mungkin salah satu. Mungkin dua-duanya. Ia menunduk.
Perutnya berdenyut nyeri. Satu kali.
“Mm—”
Tidak. Mungkin lebih baik dia tidak bersuara.
Jeon Wonwoo memejamkan mata sesaat, menghela napas. Helaan napas yang membuat Soonyoung mendongak lagi dan, kali ini, memperhatikan lebih seksama. Itu Jeon Wonwoo, benar, yang pelit dan benci orang kaya sepertinya, namun, ada yang berbeda dari wajah yang ia temui tiga hari yang lalu.
...Oh.
Ketika lelaki itu berbalik, bermaksud meninggalkan Soonyoung demi kebaikan kedua belah pihak (dan karena ia ingin Kwon Soonyoung paham dirinya tidak lebih berharga dari apapun dalam hidup Wonwoo), derap cepat dan, apa yang bisa disebut sentuhan tangan, menarik lengannya, memaksa Wonwoo berbalik dengan bola mata melebar, tertegun.
“Muka lo...kenapa?”
Satu tangan Soonyoung di perutnya, menahan sakit. Pandangannya menelisik, menatap langsung tanpa keraguan ke wajah Wonwoo yang kebingungan. Rencananya untuk kabur tanpa membuat ulah sudah rusak total. Ia menggertakkan gigi, mengepalkan tangan, siap untuk memenangkan pertandingan ini dengan skor 2:1 terhadap Kwon Soonyoung, membuat anak itu merasakan perih yang sama ketika antek-anteknya menghajar Wonwoo kemarin—
Sentuhan tangan di pipinya dan paras cemas Kwon Soonyoung.
”...Sakit?”
Sejenak, Wonwoo membeku, walau kemudian refleksnya langsung berkoar.
Plak!
Ditepisnya tangan Soonyoung dengan kasar, membuat tangan itu memerah. Namun, si anak tidak mengindahkan.
“Gara-gara gue? Apa gara-gara gue? Dosen? Senior? Apa temen gue? Apa keluarga gue? Apa bener gara-gara gue? Hey. Hey.“
Desperate. Sungguh, sungguh aneh. Wonwoo hanya bisa mengernyit makin dalam kala anak itu menarik-narik lengannya, memohon penjelasan. “Hey, apa...apa ada yang ngelakuin ini ke elo? Gara-gara gue kah? Lagi? Hey,” kalau ia bisa mendengar ketakutan menjurus tangis dalam nada itu, Wonwoo tidak mengakui apapun.
Alih-alih, ia mendecak, memasang tampang jijik. “Are you fucking insane?” hardiknya. “Lepasin!” Ia berusaha melepaskan lengannya dari pegangan Kwon Soonyoung, tapi yang ada malah mengerat dan gelengan kepala Soonyoung yang menjadi-jadi.
“Kalo iya, kalo iya, gue minta maaf, minta maaf,” cepat, terbata-bata, ia berbicara. “Maaf. Maaf. Maaf. Gue sama sekali nggak bilang apapun ke siapapun. Bukan gue. Ini bukan gue. Gue nggak minta siapapun buat lakuin ini. Please. Please...”
Wonwoo menahan napas saat Soonyoung berbisik putus asa.
“Please don't hate me...”
...
“Anak sinting,” gumam Wonwoo. “Nggak cuma tajir, lo juga sinting rupanya. Oke. Gue kasih tau ya. Ini—” Ditunjuknya lebam di pipi. “—gegara anjing penjaga lo. Lo yang nyuruh dia buat ngehajar gue. You said you did not? Bullshit. Enak banget ya, jadi orang kaya, nggak perlu ngotorin tangan sendiri buat ngelakuin apa yang mereka mau?”
Soonyoung menggeleng. Terus menggeleng.
“Shut up. Shut up,” kesal melihat Soonyoung terus menggeleng, Wonwoo mencengkeram rahang anak itu, mendiamkan gerakan kepalanya. “Gue nggak percaya sama lo, even one bit. Don't hate you. Don't hate you?”
Bulir keringat menetes dari kening Soonyoung.
“Too late. I fucking hate you already.“