narrative writings of thesunmetmoon

282.

#gyuhaooffice

”....Gyu?”

Suara itu membuat Mingyu menoleh dan, bagai pancaran matahari, seluruh gesturnya melonjak penuh semangat.

“Hao!” panggilnya riang, tak peduli orang-orang di sekelilingnya, yang mengenakan seragam yang sama dengan Mingyu, ikut menoleh ke arahnya. Minghao menyadari itu dan ia menunduk buru-buru. Malu.

“Eyy...,” Mingyu mendecak. “Jangan diliatin gitu ah, Om. Kalian juga.” Digertaknya para sepupunya yang mulai meringis jahil.

“Ciee, siapa tuh, Gyu?” goda salah satu.

“Bacot lo. Hao, sini. Sini...,” dibujuknya lembut lelaki itu. Minghao diam saja, namun menurut. Ia melangkah mendekat, masih terus menunduk dengan muka semerah tomat.

Manis. Manis sekali. Ya Tuhan, kenapa orang semanis itu bisa menjadi miliknya? Pasti Mingyu sudah menghabiskan jatah hoki seumur hidup saat Minghao menggenggam tangannya di ruang meeting.

Begitu Minghao sudah selemparan lengan, Mingyu menarik pinggangnya supaya ia bisa mengecup lembut bibir yang membuka dalam keterkejutan itu.

”!!”

Kaku, ia. Terlalu syok.

“Anak muda jaman sekarang ya!”

“HAHAHAHA, bentar lagi nikahin anak lagi lah bapak kau itu!”

“Ebujud, Mingyuu saha eta, kenalin atuhlah!”

“Ciee ciee ciee cieeee~“

Ampun Gusti...

Apabila manusia bisa self-combust, Minghao pasti sudah jadi serpihan debu sedari tadi. Apalagi, Mingyu baru melepas ciumannya setelah separuh tamu undangan dan kenalan (?) Mingyu menonton mereka. Ringis jahil lelaki itu membuat Minghao bingung apakah ia ingin mencungkil kedua matanya atau menciumnya lagi.

“Om, Tante. Adek-adek dan kakak-kakakku sekalian. Kenalin. Ini Minghao,” ia berdeham formal. Dengan lengan tetap bertaut di sekeliling pinggang Minghao, ia memperkenalkannya. “Pacarnya Gyu. Hao, kenalin. Ini keluarga besar aku.”

Keluarga besar.

Seolah baru tersadar, Minghao mendongak cepat, menatap Mingyu penuh tanda tanya. Sorot mata kekasihnya menuntut jawaban, maka Mingyu tak punya pilihan selain menghela napas, menyerah, dan mengangguk membenarkan.

“Jadi gini, Hao, suaminya Bang Jihoon itu...kakak aku...”

Kedua mata kekasihnya pun melebar.

”....Aku......kok...baru denger?”

“Yah, emang disembunyiin sama kita sih....”

”...Kenapa...?”

Mingyu menggaruk bagian belakang kepalanya. Setelah helaan napas lagi, ia menggamit tangan Minghao dan mengajaknya pergi, menuju arah pelaminan dimana pasangan pengantin masih disalami sederet panjang tamu undangan.

Barulah Minghao bisa melihat Jihoon, mukanya sudah mulai bete karena ia lapar. Persis di sampingnya, seseorang dengan rambut hitam, mata sayu dan wajah panjang, berusaha tersenyum untuk mengompensasi kejenuhan Jihoon. Lucunya, ketika mereka berdua tersenyum, keduanya memiliki lesung pipit kentara.

“Abangku, Seungcheol,” tunjuk Mingyu.

Masih dengan alis berkerut, Minghao menggeleng perlahan. “I...don't get it? Kenapa kamu dan Bang Jihoon perlu rahasiain segala....?” tanyanya.

Mingyu tersenyum meminta maaf.

“Liat bagian orangtua di sebelah abangku,” ia mengedikkan kepala.

Sekerjap, dua kerjap bulu mata, lalu, mulut Minghao membuka.

”....Wait, isn't that.....? Pak presdir??

Tatapnya ke Mingyu, balik ke orang itu, lalu ke Mingyu, lalu ke—

“Iya,” Mingyu menghentikan kepala kekasihnya dengan menangkup wajahnya. Senyumnya kini memancarkan rasa sayang. “Itu presdir perusahaan kita sebelom diganti sama presdir yang sekarang. Bokap aku. Calon mertua kamu.”