283.
Tatapnya masihlah nanar karena kepala penuh informasi baru yang belum bisa ia cerna dengan benar. Mingyu, menangkap ribuan tanda tanya berputar di dalam kepala kekasihnya itu, terkekeh, lalu mengecup bibirnya lagi, mencoba menenangkan Minghao sebelum menjelaskan lebih lanjut.
“Kamu tau Bang Jihoon gimana kan? Dia nggak bakal suka kalo semua kantor tau dia tunangan sama anak presdir yang lama. Apalagi pas itu, bokap aku masih ngejabat sebagai presdir. He made me promise not to tell a single soul pas gue diterima kerja, not even to you.
And, in return,”
Mingyu berdeham lagi.
“He helped me delivering your food.”
Makin syok.
“B-but..he said...he did not—”
“Did he now?” mata Mingyu bersinar. Amused.
“Kata kamu Chan yang bantuin kamu??”
“Dia juga,” Mingyu menggaruk kembali bagian belakang kepala. “Bang Jihoon duluan sih yang bantuin aku. Tapi kan dia ada ke Jepang tuh agak lama. Ya aku minta tolong Channie. Gegantian aja sih gitu, tapi pas akhir-akhir seringan Channie.”
Kepala Minghao rasanya pening. Anak presdir. Mingyu anak presdir. Bang Jihoon suami kakak Mingyu.
Pantas saja kostan Mingyu bisa semahal itu padahal dia baru masuk kerja.
(“....karena satu dan lain hal, memutuskan untuk nggak datang...”)
(“...sori, mas...”)
Pantas saja Mas Han tidak mau datang, padahal dia dan Bang Jihoon sebenarnya akrab, karena suami Bang Jihoon adalah sumber sakit hati pacarnya, yang pernah dicintai adiknya sendiri...
“Hao...,” panggilan namanya membuat pikiran Minghao buyar seketika. Tatapan Mingyu padanya cemas dengan tangan masih menangkup wajah. “Are you okay? Is it that hard to accept? Are you—” Ia menelan ludah. “—are you okay with this?“
“I...”
Minghao kehilangan kata-kata. This is totally okay. Sebenarnya. Toh, semua pihak sudah move on dengan jalannya sendiri-sendiri.
Tapi—
“Gyu!” rangkulan lengan di leher kekasihnya menjauhkan mereka. “Mana sini cium dong Abangnya. I miss you, GyuGyu!”
“Cheol, jangan grasak-grusuk begitu. Gue laper nih. Makan dulu yo—” Jihoon melihat Minghao muncul dari balik badan Mingyu yang besar. “—oh. Lo dateng, Hao?”
Jihoon membelalak ketika melihat ekspresi yang dikenakan Minghao. Bukan senang, atau terkejut, melainkan sesuatu yang...entahlah, marah? Kecewa?
Terluka?
Detik kemudian, Minghao berlari. Kencang. Kabur begitu saja.
“HAO??“
“Gyu.”
Ancang-ancang sudah siap, hendak berlari, namun Jihoon mengunci lengannya di leher Mingyu, hampir mencekik adik iparnya itu, sementara Seungcheol hanya ikut meringis kesakitan, paham benar bagaimana rasanya. Meski jauh lebih mungil, Jihoon jauh lebih kuat daripada kedua kakak-beradik itu.
“Gue aja.”
“Tapi, Bang—!” protesnya.
“Gyu. You're the least person he wants to see right now, if he bolts like that. So let me,” Jihoon melirik tajam. “I can bring him back to you.”
Mingyu hanya bisa menggigit bibir bawahnya, sebelum memandang lagi arah lari Minghao. Seungcheol memeluk adiknya dari belakang. Kepalanya ditepuk-tepuk sayang.
“Bawa dia balik, Hoon,” ucap Seungcheol pada suaminya. “I want to see him too.”
Mengangguk sambil lalu, Jihoon berjalan santai ke arah yang sama, meninggalkan Seungcheol yang berusaha menenangkan Mingyu yang masih kalut.