3.
Pagi datang lagi. Hari ini hari Minggu. Tidak ada kerjaan. Tidak ada tanggung jawab apapun untuk ia kerjakan. Wonwoo bangun pukul sembilan lebih tiga puluh dengan kicauan burung yang masih terdengar, bertengger di kabel listrik depan jendela kamarnya. Ada sinar benderang nampak dari celah tirai.
Wonwoo berselimut abu-abu, tanpa kacamata, diam di sana, hanya menatap langit-langit kamar yang kabur.
Di luar, ada bunyi mesin cuci. Kemudian, langkah seseorang yang sedang tergesa-gesa. Cetekan kompor dan bunyi sedokan terhadap wajan menyusul kemudian. Teriakan paket yang datang, disusul bunyi benda dimasukkan ke selot di bagian bawah pintu apartemen mereka, tempat penerimaan barang kiriman. Cetekan kompor sekali lagi, lalu bunyi pintu mesin cuci dibuka.
Sibuk sekali, hari Minggu pagi bersama Mingyu. Ketika bersama Soonyoung dulu, mereka hanya akan tertidur pulas sampai mendekati tengah hari, lalu bangun untuk memesan makan siang.
Mingyu dan Soonyoung. Dua orang sahabat. Dua orang yang amat berbeda. Polar opposites.
Wonwoo menghela napas. Mendengar kegaduhan seperti itu, mau tak mau ia turun dari ranjang, tak bisa lagi terlelap meskipun ingin. Sambil menguap, Wonwoo masuk ke kamar mandi.
“Pagi, Won!” dendangnya ceria kala melihat kedatangan suaminya.
Mingyu mengaduk sup yang baru saja matang, lalu dimasukkannya ke dalam mangkuk kecil. Wonwoo menarik kursi, duduk. Hidungnya mengerut saat mencermati sup di hadapannya itu.
“Ikan.”
“Omega 3-nya tinggi. Nambah imun.”
“Dan kerang.”
“Kata orang, bisa nambah gairah seks. Lo kayaknya butuh, daripada uring-uringan mulu,” ringisnya jahil.
Wonwoo menghela napas, mendadak sakit kepala. “Pertama, itu tiram, bukan kerang. Kedua, buat apa, anying, kita kan nggak tidur bareng juga. Terakhir, dan gue yakin lo udah apal, gue nggak makan seafood,” dengusnya kesal. Supnya benar-benar bau laut.
“Yang bilang dipake buat kita emangnya siapa?” Mingyu terkekeh. “Kan banyak orang di luar sana. Nggak harus sama gue.” Ia sendiri mengangkat mangkup supnya untuk diseruput dengan berisik. Mingyu selalu makan dengan berisik (nah kalau soal ini, ia dan Soonyoung sama persis).
Setelah terdiam seribu bahasa, Wonwoo membuka mulut, akhirnya paham. “Ya mana bisa lah. Lo kan laki gue?” alisnya mengerut. “Lo nyuruh gue selingkuh?”
Mingyu hampir tersedak karena tertawa terbahak-bahak. “Please do!” sambungnya. “Gue lebih rela liat lo selingkuh daripada liat lo uring-uringan mulu. Lagian.” Ia menambahkan. “Enam bulan lagi toh “kita” juga udah nggak ada.”
Kerut di kening Wonwoo mendalam. Sebegitu pinginnya ya, Mingyu terbebas darinya? Ia kemudian membuang jauh-jauh pemikiran tersebut. Wonwoo tidak punya hak untuk berpikir seperti itu. Mingyu benar. Mereka hanya punya sisa waktu enam bulan lagi.
Hubungan palsu yang tidak ada gunanya.
Wonwoo menunduk, mengambil sumpit, lalu mulai mengaduk supnya, memasang tampang jijik saat bau laut semakin menguar dari mangkuk tersebut. “Yaudah. Gue tidur sama orang lainnya enam bulan lagi aja. Toh gue udah setahun nggak ngeseks ini. Apa susahnya nunggu setengah tahun lagi lah,” diangkatnya mangkuk hingga sisinya mengenai bibir, kemudian diseruputnya. Tenang. Tanpa bunyi.
Wonwoo makan dengan tenang dan pelan. Berbeda dari Mingyu yang selalu berisik dan melahap semua makanan dalam hitungan menit seperti orang yang tidak diberi makan seharian. Mingyu terpana sejenak saat Wonwoo berkata begitu, berkedip, kemudian senyumnya pun merekah karena Wonwoo tetap menghormatinya sebagai suami meski pernikahan ini sekadar formalitas saja, dan karena Wonwoo, meski tidak bisa makan makanan laut, tetap meneguk supnya.
“Oke,” kekeh Mingyu, kembali kepada makanannya sendiri. “Kebetulan, gue juga udah setahun nggak tidur sama siapapun. Nunggu enam bulan lagi mah nggak ada artinya.”
“Nggak usah ngikut-ngikut gue selibat deh, aelah.”
“Yee. Lu yang ikut-ikut gue.”
Mereka saling memandang, memonyongkan bibir. Lalu, mereka tertawa bersama.