308.
“Mingyu? Kenapa ke sini? Bang Hani sama Bang Cheol di belakang kan, di luar?”
“Hmm,” Alpha-nya tidak menjawab apapun, membuat Wonwoo mengerutkan kening. Meski begitu, ia patuh pada ajakan Mingyu, tahu bahwa tak ada bahaya mengancamnya di depan. Bahaya paling dekat hanyalah kemungkinan ia dan Mingyu terlambat mengikuti upacara pernikahan dan Jeonghan marah pada mereka. Hanya sebatas itu.
Ruangan itu sebuah hall yang besar. Kosong, dengan langit-langit tinggi dan lampu benderang. Ada kursi-kursi ditumpuk bersama meja-meja panjang di salah satu sisinya. Jelas hall ini sejatinya disewakan, tetapi tidak sedang dipergunakan. Beberapa tirai beludru berwarna merah digantung di ujung ruangan, memberi sekat pemisah sederhana. Semua benda di dalam sana sepertinya mahal dan elegan, dan tidak menarik perhatian Wonwoo sama sekali.
“Mingyu,” perlahan, ia berbalik ke arah pintu. “Ngapain sih kita di sini? Ayo per—”
Kosong.
”.......Mingyu?”
Wonwoo menoleh lagi. Ke meja dan kursi. Ke tirai-tirai yang nampak berat. Ke ujung satunya lagi yang hanya menampilkan dinding kedap suara. Suaranya sendiri bergaung di ruangan luas tersebut.
Dia menoleh dan menoleh. Tidak ada siapapun di sana.
“M-Mingyu...?”
Sendirian.
Dia sendirian.
”...Nggak,” Wonwoo mencengkeram kepalanya. Timbul lagi. Suara-suara. Suara-suara yang ia dengar di pemakaman kedua orangtuanya. Tanpa wajah. Tanpa sosok. Hanya berbagai suara menuturkan kata-kata simpati yang kejam. Suara-suara yang menemaninya di malam-malam sendirian, kesepian, di rumah besar itu.
Lagi-lagi dia ditinggalkan sendirian. Oh, anak malang...
”...Nggak!“
Tangis hampir tertuang. Badannya gemetaran. Suara-suara yang sama yang ia dengar di pemakaman sebelum itu, sebuah nisan kecil di halaman belakang rumahnya...
“Wonu...?”
Cepat, Wonwoo mengangkat muka. Bibirnya menyunggingkan senyum. Ia tidak sendirian. Ia tidak lagi sendirian. “Ming—”
Bukan.
Seketika itu, darahnya membeku.
Itu Alpha-nya, betul. Tapi bukan Mingyu.
Bukan.
Itu Junhui.