narrative writings of thesunmetmoon

31.

#wwnatsume

Sang rubah meniup-niup tiga potong inarizushi yang masih panas. Barusan saja ada yang berdoa ke kuil Rubah di dunia manusia dan membawakan sesajen inarizushi. Ia pun tersenyum senang. Inarizushi adalah makanan manusia kesukaannya, yang kedua adalah tahu sutra digoreng dengan sedikit tepung. Nikmat sekali.

Namun, meskipun sang rubah lapar, ia menahan rasa lapar itu dan membawakan makanan di atas selembar daun tersebut kepada pengantinnya.

“Jeon Wonwoo,” entah kapan Wonwoo bisa tenang tiap nama lengkapnya disebut. Sungguh ia tidak suka seekor siluman asing mengetahui namanya.

Nama adalah hal yang paling krusial di dunia. Dengan memegang nama, maka siapapun bisa mengendalikan orang tersebut. Amat berbahaya apabila ada pihak lain yang memegang nama asli seseorang, maka setiap bayi yang lahir akan diberikan dua nama: imina dan nama sehari-hari. Nama sehari-hari Wonwoo adalah Jeon Wonwoo, dan, dengan memegang nama itu, si rubah sudah mendapatkan separuh dari keseluruhan kendali. Tinggal separuh lagi, nama lahirnya, imina, jika diketahui si rubah maka habislah ia.

“Jeon Wonwoo,” ulang si rubah. Sambil tersenyum, disodorkannya daun berisikan makanan itu. “Makan. Ini makanan manusia. Ada manusia kasih persembahan buatku. Makan. Ini enak.”

Enak. Sang rubah suka. Kalau pengantinnya juga suka, maka ia akan senang sekali.

“Saya nggak lapar!” hardik Wonwoo. “Pulangin saya! Saya nggak mau ada di sini! Saya mau pulang! Saya bukan pengantin kamu!”

Ekor sang rubah yang tadinya mengibas kesana-kemari pun langsung lunglai. Kuyu karena sedih.

“Kamu pengantinku, Jeon Wonwoo,” ia mengatakannya lagi. “Kamu belum makan dari kemarin. Ini makan. Kalo nggak makan, nanti kamu sakit—”

Plak!

Srak!

“Saya nggak mau makan sesajen! Saya mau pulang! Pulangin saya! Lepasin saya!”

Bohong. Padahal Wonwoo lapar. Wonwoo lapar sekali. Terakhir ia makan itu kemarin pagi sebelum berangkat ke sekolah, semangkuk selada kentang dan telur mata sapi. Andai tahu ia akan disekap seperti ini, harusnya dia tambah nasi lagi dua mangkuk dan sepotong lagi telur mata sapi. Wonwoo sangat, sangat lapar.

Inarizushi yang ia sukai kini berserakan di rerumputan. Sang rubah memandangi makanan yang mubazir itu dengan sedih. Dipungutinya nasi yang berceceran dari kantung kulit tahu dan dikumpulkannya kembali ke atas daun. Satu per satu, tiap butir, sampai semua telah terambil.

“Wonwoo tau?” ucap sang rubah dengan lirih. “Di tiap butir nasi itu ada tujuh dewa. Semua dewa itu mendoakan tiap butir nasi agar bisa memberi makan semua makhluk dengan nyawanya. Begitupun hewan dan tumbuhan lain yang diciptakan buat dikonsumsi. Mereka berkorban nyawa buat kita.”

Sang rubah menatap paras Wonwoo yang tercengang dan curiga secara bersamaan, kemudian tersenyum lembut.

“Nggak apa kalau Wonwoo nggak mau makan, tapi jangan dibuang ya? Kasihan, udah susah-susah ngasih sesajen makanan. Mungkin dia sendiri kelaparan, tapi dia ngasih kita makanan.”

Wonwoo hanya diam. Tidak tahu harus berkata apa.

“Ini udah kotor. Biar aku yang makan. Nanti kalo ada sesajen lagi, aku bawain, kamu makan ya? Aku nggak mau pengantinku sakit.”

Berkata begitu, sang rubah berdiri, membawa makanan yang sudah kotor dan berantakan itu pergi, meninggalkan Wonwoo terpekur dalam keadaan lapar dan sangat bingung.