311.
Ibunya ketakutan.
Sepanjang ingatan Wonwoo, semenjak anaknya dinyatakan sebagai Omega sampai ia masuk ke liang kubur, ibunya selalu ketakutan. Wonwoo tidak paham apa yang ibunya itu takutkan. Dia tidak pernah dibiarkan keluar rumah barang sejengkal langkah pun, kecuali pergi bersama mereka.
Apakah ibunya takut Wonwoo akan dilahap Alpha manapun yang memutuskan ia cukup lezat dan cukup kaya bagi seleranya? Atau ibunya takut Wonwoo akan diketahui dunia sebagai anak Omega di tengah keluarga Alpha, takut akan dijadikan pion para rival keluarganya untuk mencoba mengambil kekuasaan dan kekayaan mereka?
Mungkin saja. Bagaimanapun, dunia politik memang kejam. Setitik saja kesalahan kecil bisa dipakai lawan untuk menjatuhkan, apalagi skandal sebesar ini.
Tapi Wonwoo, usianya 15 saat itu, tidak begitu peduli mengenai politik dan sejenisnya. Yang ia rasakan hanya bosan tak berkesudahan. Semenjak ia dipaksa drop out dari sekolah dan dikurung permanen di rumah, sehari setelah hasil tesnya keluar, tak banyak yang bisa ia lakukan untuk mengisi hari-harinya. Buku, habis dibaca. Berkebun, telah menjadi taman cantik yang hanya perlu dijaga kecantikannya. Memasak, ia tak ada bakat sama sekali. Nol bulat. Daripada membakar seisi rumah, dengan amat menyesal, juru masak keluarga mereka memintanya meninggalkan dapur.
Bosan. Wonwoo sungguh bosan. Ayahnya bekerja. Ibunya aktif bersosialisasi dan menjalani bisnisnya sendiri. Setiap hari ia ditemani (baca: diawasi) oleh kepala pelayan, para pelayan, tukang kebun, juru masak, para penjaga keamanan...
Bosan...
Sampai suatu hari menjelang hari ulang tahunnya yang ke-16, ia melihat anak lelaki itu melintas depan rumahnya dari pinggir pagarnya. Anak lelaki berambut hitam legam, hidung mancung, mata bulat, pipi agak gembil. Anak lelaki yang membawa seekor anak kucing hitam dalam gendongannya. Dia tertawa dan bercakap-cakap dengan kucing itu. Wonwoo yakin karena ia cukup dekat untuk mendengarnya.
“WHOA!!” anak itu berbelok, menoleh, melihat Wonwoo berdiri dalam diam di balik pagar jeruji berhiaskan pergola, dan refleks ia meloncat memegangi jantungya. Kucing hitam dalam gendongannya pun melompat saking kagetnya. “Junnie!” Anak lelaki itu segera mengejar kucing tersebut. “JUNNIE JANGAN LARI! NGGAK PA-PA KOK, SETANNYA BAEKK!!”
Wonwoo muda menatap punggung anak lelaki itu pergi, dan dengan pandangan sayu, bergumam pelan,
”....saya bukan setan.”
Hidup dipingit juga tak ubahnya seperti setan, lama-lama ia akan menghilang, perlahan tapi pasti, dari ingatan orang-orang.
Malam itu, Wonwoo tidur sambil menangis di balik selimutnya.