318.
Minggu ketiga Junhui menghilang bagai ditelan bumi, Wonwoo semakin kepayahan. Semakin terpuruk dalam nestapa.
Dia tidak mau makan. Tidak mau minum. Dipaksa oleh para pelayan pun ia menolak mentah-mentah. Tidurnya tak pernah tenang, belum lagi mualnya bertambah parah. Tak ada yang ia keluarkan lagi kecuali cairan kuning masam dari lambungnya. Akibat dehidrasi, bibirnya mengering dan pecah-pecah. Kepalanya pening. Tubuhnya lemas. Ia hanya berbaring seharian, menangisi kepergian Alpha-nya dan nasib janin dalam kandungannya.
Kondisi Wonwoo yang menyedihkan membuat ayahnya sedikit menaruh perhatian padanya. Bagaimanapun, bila mereka biarkan saja, media massa pasti mampu mencium adanya ketidak beresan dalam rumah tangga seorang politikus ternama dan hal itu dapat mengakhiri karirnya begitu saja.
Puncaknya adalah ketika perut Wonwoo terasa sakit sekali. Sakit, sakit sekali. Dia tidak tahu kenapa atau bagaimana. Omega itu mengerang kesakitan. Darah merembes di celananya.
Sakit! Sakit!! Tolong! Junnie, Junnie!!
Lolongannya membuat bahkan bulu kuduk orangtuanya berdiri. Lolongan Omega dalam kesakitan yang teramat sangat, tak seorang Alpha pun sanggup melepaskan diri dari sayatannya.
Maka, dipanggillah dokter pribadi keluarga mereka. Dokter yang telah disumpah untuk menjaga segala kerahasiaan, termasuk lahirnya Omega di keluarga tersebut.
“Maafkan saya...”
Wonwoo berbaring menatap langit-langit. Tatapnya kopong. Samar-samar, ucapan dokter itu menembus pintu kamar yang tertutup rapat.
'Saya sudah berusaha...tapi kondisinya sendiri sungguh buruk...janin itu sangat rapuh di awal kehamilan dan dia tidak menjaganya dengan baik...'
Wonwoo seakan mendengar sentakan napas ayahnya, terkejut karena ia tidak tahu-menahu akan kehamilan putranya. Ibunya hanya menangis dan menangis saja, entahlah apa yang wanita itu tangisi.
Bukannya bagus, kabar ini?
Kabar bahwa cucunya tewas bahkan sebelum ditiupkan ruh ke dalam seonggok daging itu.
'Maafkan saya, saya tidak bisa menolongnya, andai dia dijaga ibunya dengan lebih baik...'
Jun...
Junhui...
Sudah tidak ada lagi...anak itu...
Anak kita...sudah tidak ada...
...karena saya...
Karena saya.
Karena saya.
Karena saya.
Sebulir air mata menuruni sisi keningnya. Wonwoo masih terpaku memandangi langit-langit kamarnya.
“Saya membunuh...”
Anaknya. Bayinya. Bayinya dan Junhui.
Digertakkannya gigi. Dahi mengerut dalam. Air mata mengalir deras. Wonwoo menutupi wajahnya dengan kedua punggung tangan.
Saya membunuhnya...membunuh anak saya sendiri...
“AAAAAAAAHHHHHHHH!!!!!”