321.
Suara ombak berderu teratur, menciptakan musik alamiah bagi telinga. Pasir sejuk terasa di bawah usapan telapak tangan. Langit berbintang, bersih dari pijar lampu, berkelap-kelip begitu terang, begitu banyak.
Indah.
Indah...
“Won...,” elusan lembut di sudut matanya ternyata berusaha menghapus bulir air mata yang tengah berjatuhan.
Sore tadi, entah bagaimana caranya, mereka berhasil melewati upacara pernikahan Seungcheol dan Jeonghan tanpa drama tak perlu. Ia ingat ia tersenyum sambil memeluk lengan Mingyu, tertawa ceria, berlaku bak tamu sempurna untuk pasangan yang berbahagia.
Malam ini, mereka adalah sepasang insan yang saling bergelung pada tubuh satu sama lain, berbaring di tengah-tengah hamparan pasir di pantai pribadi penginapan mereka, sekadar titik debu di mata semesta.
Melihat tangis Wonwoo tidak berhenti bahkan setelah ia menyekanya dengan tangan, Mingyu menghela napas, lalu memeluk Omega itu lebih erat agar ia bisa mengecup air matanya. Asin di atas bibir yang hangat. Mingyu selalu hangat. Bahkan di pantai berhembuskan angin malam, Alpha yang besar itu selalu hangat.
Kecupan demi kecupan ringan pada wajahnya membuat Wonwoo memejamkan mata dan Mingyu, menyadari itu, pun perlahan menyusuri rahang, pipi...kemudian, bibirnya menyentuh bibir Wonwoo. Ciuman yang amat lembut membuat sang Omega meleleh seketika. Ia berpegangan pada pinggang lelaki itu, menikmati setiap detik dan menitnya sampai ciuman itu, sehalus datangnya, pun pergi meninggalkan bibirnya.
”...Mingyu marah?” serak, bisikan sang Omega. Tatap matanya letih bercampur keraguan, juga secercah harapan akan pengampunan di baliknya.
Mendengar itu, sang Alpha menjawab, “Iya.” Omega-nya menahan napas, namun ia tetap melanjutkan. “Aku marah sama aku yang dulu. Yang ninggalin kamu di mobil. Yang ninggalin kamu di rumah. Aku marah sama Alpha goblok itu. Yang nggak tau seberapa besarnya dia udah nyakitin kamu—”
“Mingyu,” cepat, Wonwoo menangkup kedua pipi Alpha-nya. Ia menggeleng, menangis lagi, tidak mau mendengar Mingyu menyalahkan dirinya sendiri. Karena dia tidak salah. Wonwoo yang salah. Dirinya yang salah.
“Saya...saya yang salah. Saya udah bohong sama Mingyu. Saya nggak butuh jual rumah itu. Saya nggak butuh uang 17 triliun itu. Saya cuma butuh Alpha yang mau beli saya. Saya nggak mau sendirian lagi di rumah besar itu. Alpha manapun nggak masalah.”
Ada hening menggantung di antara mereka setelah kalimat terakhir tersebut.
“Siapapun, siapapun, boleh. Saya nggak peduli. Saya cuma nggak ingin sendirian lagi...nggak mau kesepian lagi...”
“Won...”
Mingyu membawa wajah Wonwoo ke pelukannya, membiarkan Omega itu membasahi bajunya dengan titik air mata.
“Tapi, liat apa yang dikasih ke saya?” dia terisak. “Kamu. Tuhan kasih saya kamu, Mingyu. Kamu, yang baik, yang lembut. Yang ngeliat saya seolah saya yang udah kotor ini masih pantas buat disayang. Tuhan kasih saya kamu...”
Wonwoo memejamkan mata lagi, menangis semakin deras.
“Dan saya takut. Setiap hari, saya ketakutan. Saya takut, suatu hari kamu bangun dan mutusin kalau kamu udah nggak mau saya lagi. Saya takut, suatu hari kamu tau saya udah bohong, tau masa lalu saya dan pergi. Saya takut, Mingyu.”
Alpha-nya mengecup keningnya. Pelukannya kian erat.
“Cuma kamu... Saya nggak akan bagi kamu ke orang lain... Saya nggak akan kasih kamu ke orang lain... Mingyu Alpha saya... Alpha saya seorang...”
Alpha yang ia nantikan bertahun-tahun lamanya dalam keheningan dunia.