narrative writings of thesunmetmoon

332.

#minwonabo

“Halo, Sayang.”

Seokmin tersenyum, mengecup nisan itu meski matahari sedang terik-teriknya dan membuat segala batu bagai terpanggang. Ia duduk di depan makam Joshua seperti biasa. Ditaruhnya buket bunga segar setelah ia menyiangi rerumputan hama yang tumbuh di makam seiring berjalannya waktu. Sudah dua minggu ia lalai menjenguk Omega-nya akibat kesibukan duniawi dan ia berusaha menebusnya dengan memastikan makam kekasihnya kembali rapi dan bersih.

Bagaimanapun, Joshua lebih suka bila semua tertata apik.

“Maaf ya, aku dua minggu kemarin nggak sempet ke sini,” mulai ia bercerita pada kekasihnya. “Aku punya banyaakkk banget yang mau aku ceritain ke kamu. Mmm, mulai dari mana ya? Kamu mau denger yang mana dulu nih, Sayang?”

Seokmin diam sesaat, mengangguk-angguk, seakan Joshua benar-benar sedang berbicara dengannya.

“Aku sehat kok, sehat banget,” senyum sang Alpha, lagi-lagi, tersungging. Senang, karena Omega-nya ingin mendengar kabarnya terlebih dulu. “Josh, anjing Mingyu, udah beranak. Aku kemarin ditawarin mau nggak satu anaknya. Mungkin aku bakal ambil sih. Namain dia Shua. Biar kalo aku kangen kamu, aku bisa peluk dia.”

Cengirannya muncul saat ia membayangkan wajah ngambek kekasihnya, menyatakan bahwa dia bukan hewan!

“Jangan ngambek sama anjing dong, Sayang, lucu banget sih kamu...,” dielusnya nisan Joshua.

“Oh ya! Kamu inget Wonu, Omega-nya Gyu? Yang setahun lalu aku ajak ke sini buat ketemu kamu?? Dia lagi hamil, Yang! Udah tujuh bulan. Gembul gitu, pipinya bunder, lucu banget deh. Tapi ganas banget, bused. Ngeliat muka aku, dia ngamuk. Ngeliat muka Alpha-nya apalagi. Aku sama Gyu mikir kayaknya bayinya bakal Alpha deh ntar, abisan benci banget gitu sama Alpha.”

Gelaknya ringan, mengisi kekosongan pekuburan di siang itu.

“Kamu harus liat muka Gyu pas dia baru tau Wonu hamil. Kocak banget, asli. Wonu ngabarinnya di WA kan, di group chat kita. Dia cengo bego gitu pas baca. Aku langsung masuk dong ke ruangan dia, mau nyelamatin. Eh, dia lagi nangis.”

Lalu, keceriaannya berkurang, tergantikan oleh rasa haru ketika ia mengingat hari itu. Seokmin masih ingat bagaimana ia masuk dengan buru-buru, dirundung suka cita dan tak sabar ingin membaginya bersama Mingyu, namun berhenti saat dilihat sahabatnya itu menangis. Sang Alpha tengah memegangi handphonenya dengan tangan gemetaran, membekap mulut kuat-kuat dan menangis sejadinya di meja kerjanya.

Mau tak mau, Seokmin ikut tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Tidak ada Alpha yang tidak bahagia mengetahui Omega-nya tengah mengandung keturunannya. Orang yang paling dicintai membawa darah dagingnya dalam rahimnya.

Seokmin melangkah masuk, lalu memeluk Mingyu. “Selamat...,” bisiknya. Sebulir air mata turut membasahi pipinya. Ia tahu seberapa besar arti bayi ini bagi Mingyu. Mingyu semakin terisak, kemudian balas memeluk Seokmin. Runtuh dalam dekapan sahabatnya. “Selamat, Gyu...” Ditepuk-tepuknya punggung Mingyu, mencoba menenangkan.

Matanya kembali berkaca-kaca. Seokmin mengusapnya sambil tertawa. “Ahaha, sori, Sayang, aku jadi mikir nggak perlu deh,” akunya pada Joshua. “Aku jadi mikir gimana kalo aku yang nerima kabar itu dari kamu.”

Hening. Angin memutuskan untuk berhembus pada detik itu, membuyarkan rumput dan menggoyangkan ilalang di belakang makam Joshua. Ia bersumpah ia bisa merasakan sentuhan tangan Joshua di pipinya, maka ia menyentuh pipinya.

“Aku sayang sama kamu...”

Di hadapannya, Joshua tersenyum. Tak berubah. Masih manis. Masih penuh kasih sayang. Seokmin mengecup tangan kekasihnya, membuat Joshua tertawa ringan.

Kemudian, ia lanjut bercerita. Mengenai Seungcheol yang sukses menambah cabang kafenya dan Jeonghan, kini telah menikah, digigit dan berbahagia, tidak lagi bekerja di kafe itu, melainkan membantu Seungcheol mengelola manajemennya.

Mengenai Wonu yang masih bekerja bersama Chan dia kafe Seungcheol, walau Wonu sebentar lagi akan cuti melahirkan dan terancam dilarang bekerja oleh Alpha-nya sampai pulih benar dan Chan yang akan sidang skripsi bersama mate-nya, Yeri, tahun ini. Sepertinya Seungcheol harus bersiap mencari dua pegawai baru sebagai pengganti mereka.

Mengenai Seungkwan dan Hansol yang telah memutuskan untuk memiliki anak. Mereka masih mencari cara terbaik, apakah bayi tabung, mengadopsi, atau alternatif lain. Hari ini mereka akan mengunjungi rumah sakit untuk bertanya lebih lanjut soal bayi tabung.

Mengenai Minghao dan Junhui yang, pada akhirnya, akan menikah bulan depan di Cina. Sepertinya Junhui akan memboyong Minghao ke sana, tinggal di sana, meneruskan bisnis keluarganya dan menutup usahanya di sini. Seokmin juga kurang tahu. Minghao bilang dirinya dan Junhui masih belum memutuskan apakah kepindahan ini bersifat permanen atau temporer. Mereka bisa saja kembali lagi ke Indonesia kalau Minghao menghendakinya.

“Gyu jelas ngambek pas denger soal ini,” kekeh Seokmin. “Mereka udah balik sahabatan kayak dulu lagi. Dia nggak mau nggak bisa ketemu Hao lagi. Tapi bagusnya sih dia sadar diri buat nggak nunjukin di group chat, apalagi Jun dimasukin juga ke group chat kita. Tapi dia misuh-misuh ke Wonu, yang, of course, terus ngadu ke aku.”

Lelah bercerita, Alpha itu menghela napas. “Sori, aku ngomong terus yah? Kamu pasti aus. Aku juga aus nih, tapi entar aja deh aku mampir kafe Cheol.” Seokmin membuka tutup botol air mineral, lalu membanjuri nisan itu hingga basah merata. “Tadinya aku mau bawa wine, soalnya kamu lebih suka itu. Tapi nggak jadi ah. Takut disemutin.”

Kekehnya lagi.

Kemudian ia kembali duduk. Kaki menyila. Kedua lengan terjulur di belakang, menumpu beban tubuhnya. Seokmin pun mendongak memandang langit. Awan putih tebal berarak pelan, menutup mentari, membuat suasana bumi di bawahnya menjadi sejuk sesaat.

”...You know, pas aku di Bali, aku sempet pergi ke tebing. Di bawah tebing itu langsung laut berkarang. Aku sempet berdiri lama di situ, mandangin ombaknya. Mandangin lautnya...

Aku sempet mikir...

...aku mau ketemu kamu...”

Tawanya hambar.

“Kamu pasti ngamuk aku ngomong gini. Tapi aku capek, Shua. Aku capek,” ia maju kini, merebahkan kening ke nisan Joshua, tak menghiraukan basah dari nisan menempel pada kulitnya. “Aku kangen sama kamu. Kadang-kadang, aku kebangun tengah malam, nyariin kamu di samping aku. Aku kangen kamu. Wangi kamu. Pelukan kamu. Suara tawa kamu.

Senyuman kamu...”

Digertakkannya gigi. Tangis diam-diam turun di pipi, terisak miris sambil mengadu pada Omega-nya.

“Kadang-kadang, aku nggak kuat. Aku nggak sekuat itu, Sayang. Aku mau nyusul kamu, ketemu kamu, meluk kamu lagi...”

Satu kecupan.

Dua kecupan.

'Seok...'

Terasa pada wajahnya. Pada hidungnya.

Tiga.

Pada matanya.

Dan yang terakhir, pada bibirnya...

Seokmin tertawa. Tertawa lugas dan membahana. Disekanya tangis yang turun. Pun, ia balas menciumi nisan Joshua, seakan-akan batu tersebut adalah wajah kekasihnya.

“Iya, Sayang, maaf aku udah khilaf... Aku bakal terus hidup kok. Demi kamu. Demi kita...”

Sampai ajal menjemputnya dan Joshua, berdiri di hadapannya, mengulurkan tangan sambil tersenyum.

Seokmin duduk lagi. Pandangannya teduh pada nisan kekasihnya.

Omega-nya.

Mate-nya.

“Minggu depan aku bawain wine deh, buat kita minum bareng.”

Suara tawa.