narrative writings of thesunmetmoon

34.

#gyuhaoparents

(“Pa. Papa inget surat yang Mama terima?”)

(“Kakak ngeliat Mama nyium surat itu, Pa, kayaknya Mama seneng banget...”)

(“Pa...surat itu....surat dari siapa....?”)

“Mingyu.”

Tersadar. Di meja kerjanya, Kim Mingyu salah menandatangani dokumen. Sesuatu mengenai kesepakatan antara developer dengan...kau tahu? Persetan. Ia tidak bisa bekerja seperti ini.

Gedung perkantoran itu sepi karena hari ini adalah hari Sabtu. Hanya ada dirinya dan beberapa orang yang masuk kerja, semata karena jika tidak diuber hari ini, nanti Senin akan lebih bertumpuk lagi. Mingyu bersama tiga orang dalam tim proyek terbaru mereka, termasuk Wonwoo, baru saja selesai mengadakan rapat. Dua orang lainnya pulang, hanya tersisa dirinya dan, rupanya, Wonwoo.

“Napa lo bengong gitu? Lo nggak pa-pa?” bersandar di ambang pintu ruang kerja Mingyu, Wonwoo melipat lengan di dadanya. Ia menyadari bahwa wajah bosnya itu pucat sekali.

”.....,” Mingyu menghela napas. “Won?”

“Ha?”

“Lo mesti balik cepet malem ini?”

”? Nggak sih...?”

“Temenin gue minum....bisa?”

Wonwoo mendengus. “Ngaco. Lo bukannya udah setop, Gyu? Ntar dimarahin Hao lagi lo,” selorohnya.

“Gue butuh minum, Won. Kepala gue...sakit...”

“Gyu?” alisnya berkerut. Kecemasan itu malah semakin menjadi-jadi. “Lo...yakin nggak pa-pa?”

Mingyu tidak menjawab. Alih-alih, ia hanya memandangi Wonwoo seolah ia akan tersesat bila dibiarkan berkeliaran seorang diri. Meski dengan berat hati, daripada masalahnya lebih panjang dan runyam lagi...

“Fine...,” gerutunya, bukan dengan keikhlasan. “Tapi kalo lo mabok, gue nggak mau angkut-angkut lo ke rumah, ya. Lo berat, njing.”

Kim Mingyu tersenyum kecil.

“Fair enough.”

(“Hao. Surat itu...”)

(“Hmm? Surat apa?”)

(“Surat yang buat kamu kemarin itu, yang aku liat di meja rias di kamar.”)

(“O-oh...emm...kenapa suratnya...?”)

(“Surat dari siapa sih emangnya? Langka banget tahun segini masih surat-suratan?”)

(“Itu...itu dari temenku jaman masih kerja di perusahaan pertama dulu banget..”)

(“Ooh....akrab ya sampe masih surat-suratan...”)

(“Iya. Dia emang orangnya nggak bisa ketebak, tapi dia baik banget...”)

(“Hoo...”)

(“Kenapa kok tiba-tiba kamu nanya?”)

(“Penasaran aja, hehe.”)