36.
“Gue kira lo kenapa, Gyu, Gyu...tetau gegara tolol aja...”
“Kok lu anjing, Won?? Gue serius ini!! Surat dari siapa itu?? Kenapa dia nggak ngasih tau gue?? Biasanya dia selalu cerita apapun ke gue??”
Dibantingnya pantat botol ke atas meja dan ia meneguk habis isi gelas tingginya. Memutuskan kalau minum di luar tidak akan afdol curhatannya, Mingyu memesan selusin kaleng bir dan dua botol alkohol, cabernet sauvignon dan sebotol merlot untuk melembutkan rasa yang pertama, ke kantornya. Anggur merah adalah minuman terbaik untuk menemani santap malam sekaligus menu berbuka mereka berupa daging sapi panggang, kentang tumbuk, tumis sayuran organik dan roti mentega yang mereka pesan dari restoran skala atas terdekat.
Jeon Wonwoo menghela napas.
“Gini deh, Gyu. Lo jangan mikir kejauhan dulu. Coba lo omongin baek-baek sama laki lo. Siapa tau emang dari temennya aja itu surat...”
“Kalo cuma dari temen, kenapa dia pake cium-cium segala tuh surat?? Fuck. I hate this. I hate...feeling like this...”
“Gyu...,” tangan Wonwoo menepuk-nepuk perlahan pundaknya. Senyumannya terkulum. “...Lo tuh nggak berubah ya? Masih aja suka insecure. Semua apa-apa lo mesti tau, mesti aman. Kalo lo nggak tau satu hal aja, lo rusuh sendiri, gelisah sendiri, padahal cemasnya lo itu nggak guna karena sebenernya nggak ada apa-apa.”
Tawanya pelan, mengenang salah satu momen pertengkaran mereka yang terjadi belasan tahun yang lalu. Wajah Wonwoo mulai memerah walau ia masih belum begitu mabuk, kontras terhadap Mingyu yang sudah merona setelah menghabiskan setengah botol anggur dan dua kaleng bir.
”....Nggak ada apa-apa gimana, buktinya lo pergi ninggalin gue....”
Itu adalah sebuah gumaman pelan, namun bukan berarti rahang Wonwoo tidak menegang mendengarnya.
“Gyu,” diberinya peringatan. “Kita udah kelarin ini semua. Dan gue ninggalin lo buat sekolah ke luar negeri—”
“Iya, iya, tau, ah, bacod.”
“Kim Mingyu.”
Kali ini, giliran Mingyu yang menghela napas. Diusapnya muka. “.....Sori,” ujarnya. “Gue nggak ada maksud.........sori....” Melampiaskan pada Wonwoo akan hal yang sudah lama lewat adalah langkah pengecut yang curang. Ia paham itu. Paham, tapi...
”....Gimana?”
“Apanya?” Wonwoo meneguk anggurnya.
“Lo sama dia?”
”........Dia masih stress.”
“Won—”
“Gue udah bilang. Udah bilang kalo anak bukan segalanya. Gue udah bilang kalo gue cuma mau berdua aja sama dia untuk sementara waktu. Kalo kita punya anak, gue bakal seneng banget, tapi kalo nggak ada pun, gue nggak akan pernah ninggalin dia.
Gue udah bilang, tapi dia.....”
Wonwoo membenamkan wajahnya ke muka.
”......Gue capek, Gyu, berantem mulu tiap hari. Dia kayak ketakutan kalo gue nggak pulang-pulang. Dia juga...mulai ungkit-ungkit soal hubungan kita....”
“Wonu....”
Tanpa sadar, Mingyu mengulurkan tangan untuk mengelus pipi Wonwoo. Hati kecilnya pedih melihat kondisi orang yang ia sayang sekarang seperti ini. Ia yakin Wonwoo dan suaminya saling cinta, tapi...cinta saja takkan cukup dalam menjalani sebuah pernikahan....
Wonwoo memejamkan mata, mendesah ketika pipinya tidak berhenti dielus Mingyu. Sudah lama sekali.....
Tangan besar nan hangat yang selalu menyentuhnya dengan lembut.....
“Won..”
Wajah Mingyu maju.
Sudah lama sekali...