36.
Mereka berkumpul di salah satu meja kantin tanpa kehadiran Wonwoo. Dari konfirmasi Jihoon dan Jun, Seungcheol menyimpulkan bahwa ada yang merubah Wonwoo, tapi entah apa. Di satu sisi, bener kata Wonwoo, harusnya mereka seneng karena artinya Wonwoo udah nggak UUD, aka Ujung Ujung Duit. Minjemin catetan ke temen gratis, bantuin temen nge-pabji nggak masang tarif, yah...itu hal yang lumrah. Umum. Kayak...ya harusnya kayak gitu toh?? Temenan itu??
Namun, di sisi lain, ketiga temannya itu cemas, karena dampak negatifnya akan lebih besar ketimbang dampak positifnya bagi Wonwoo. Orang luar nggak akan bisa paham, karena mereka nggak pernah dikasih lihat lapisan terdalam seorang Jeon Wonwoo. Buku yang nggak akan pernah bisa ditebak dari sampulnya semata.
“Gimana ya...ngasih duit, ditolak. Minta tolong, nggak dipalak. Gue harus ngapain ini, Bang? Help...” ;;😐 Jihoon mengeluh.
“Gue juga kagak tau, Hoon. Gini aja deh, coba kasih dia bentuk materinya langsung. Misalnya ya, ntar maksi, lu seret dia ke kantin. Biar gue yang beliin dia makanan. Biar pas dia dateng, udah ada tuh makanan. Nggak mungkin Wonu tega buang-buang makanan, dia pasti abisin.”
Jun dan Jihoon merasa tercerahkan.
“Lu bener juga, Bang...,” telaah Jun 🤔 “Lebih mungkin Om Siwon Choi jadi presiden RI daripada Wonu buang-buang makanan.”
“Yaudah. Kita gitu aja,” Jihoon pun setuju. “Maksi udah elo. Kalo gitu, gue ntar sore beliin dia keperluan dapur deh. Sekantong gede. Biar dia gue anter balik terus gue taro tuh kantong di dapur dia langsung.”
“Gue lagi kere nih bulan ini...no moni, belom dikirim Paduka Yang Mulia dari rumah...,” Jun mengaku.
Money eobseo... 😢
Seungcheol menepuk-nepuk pundak Jun. “Ya jangan dipaksain lah lu, geblek,” decaknya. “Biar gue sama Jihoon aja dulu. Kita lagi kelebihan kok bulan ini. Kalo lo ada dan ikhlas, ya langsung aja beliin tuh anak apaan kek gitu.”
“Siap, Jendral!” ujar Jun.
“Yodah. Eh gue cabut duluan yak. Lo bedua ada kelas pagi kan?” kedua anak yang lebih muda darinya itu mengangguk. “Gih sono lu pada, ntar dimarahin lho kalo telat.”
“Lo balik, Bang?”
“Kagak,” mereka pun beranjak dari duduk. “Gue mau nyekripshit aja di perpus.”
“Lah?” Jun menimpali. “Kan lu skripsi taun depan, Bang?”
“Ya gak papa. Curi start biar gue kelarnya kagak ngaret,” selorohnya. “Gue males lama-lama di kampus, mau cepetan kelar.”
“Rajin banget abang gue,” Jun ngekek. Dirangkulnya leher Jihoon untuk diseretnya menuju kelas bareng. “Yok, Bang. See you maksi.”
“Aduh anjing, gue nggak napas—”
Selepas kepergian tuh dua bocah, Seungcheol juga berlalu. Tingkat tiga adalah tingkat tersibuk sepanjang masa. Presentasi, makalah, kuliah tamu, kuis dosen, asistensi, himpunan mahasiswa, kegiatan kepanitiaan; semua seolah tidak ada habisnya. Tetapi, entah bagaimana caranya, Choi Seungcheol tetap berhasil menyisihkan waktu untuk menulis draft skripsinya.
Ia menghabiskan tahun kemarin mencari topik penelitian dengan variabel Y yang belum pernah diteliti di kampusnya, atau yang riset terhadap suatu lingkup masyarakat yang belum tersentuh, karena, tentu saja, sebagai calon pemegang gelar sarjana, bukan keharusannya menciptakan topik yang benar-benar baru. Ia hanya perlu mengikuti topik yang sudah pernah diteliti sebelumnya dengan sedikit plot twist. Dengan harapan tahun ini tidak ada seniornya yang memakai judul yang sama, ia pun mulai menyicil.
Mentari hari itu cukup kuat. Meski masih pagi, ia sudah keringatan banyak. Harusnya tadi dia beli minuman di kantin. Ia sedang melintasi taman saat ia teringat akan keberadaan sebuah vending machine tidak jauh dari situ. Seungcheol mengubah arah tujuannya, menghampiri bagian taman yang agak lebih tersembunyi. Saat ia menemukan mesin itu, segera koin-koin berpindah tempat, digantikan sebotol dingin Oolong Tea. Paling enak pas lagi kepanasan, menurutnya. Dibukanya, lalu diteguknya banyak-banyak sampai puas. Ia tengah berdiri di sana, mencoba menghabiskan minumannya sebelum berjalan lagi, ketika percakapan itu tertangkap telinganya.
”...Gimana kondisi lo hari ini?”
“Nggak apa...”
“Hosh.”
“Clair de Lune.”
Sebuah helaan napas.
“Yakin?”
Tidak ada jawaban.
“Oke. Kalo ada yang bikin sinar bulannya ngeredup, lo kasih tau gue.”
Kekehan tawa. “Oke, Joshi~” suara yang Seungcheol kenal pun menjawab. Nadanya ceria nan santai.
Seungcheol diam-diam mengintip dari celah dedaunan. Tepat pada saat itulah, Joshua Hong memajukan kepala dan mencium Kwon Soonyoung. Tepat di bibir.
...Oh. Jadi hubungan mereka kayak gitu, pikir Seungcheol.
Soonyoung tertawa, lalu mengecup lagi bibir Joshua untuk terakhir kalinya pagi itu. “Thanks, Joshi,” bisiknya.
“Anytime, my dearest...”
Wow. Berasa kambing congek dah guwa. Mesra bener.
Soonyoung pergi dengan lambaian tangan serta senyuman di wajah. Joshua terus saja memandanginya, bahkan setelah punggung anak itu mengecil di pandangan.
“Apa lo nggak berlebihan? Sampe datengin dia di kampusnya.”
Kaget, ia berbalik seketika dan menemukan wajah yang familier di sana.
”...Temennya Jeon Wonwoo?” 🤔
“Bused. Diinget dikit kek nama gue??” 😩