37.
“Choi Seungcheol, Choi Seungcheol!” 😩
“Oh,” jelas-jelas nggak tertarik, Joshua kembali menatap Soonyoung, namun anak itu sudah hilang. Ia kemudian menghela napas. Ya udahlah, batinnya. Toh, Soonyoung nggak akan pernah lupa buat lapor ke dia kalo ada apa-apa, karena anak itu cuma punya dia. Nggak ada yang lain.
“Nih.”
Sebuah kaleng kopi dingin menyentuh pipinya.
“Ngobrol dulu yuk.”
Cengiran lebar lelaki itu membuat Joshua cengo. Seketika saja, mereka udah duduk di bangku kayu dekat situ, dengan Seungcheol menghabiskan botol tehnya dan Joshua bengong mandangin kaleng kopi di tangan.
“Minum aja sih, nggak gue racunin ini.”
”...Maksud lo apa sih?” Joshua menoleh. Kernyitan nampak di dahinya. “Gue kan musuh lo pada. Ngapain lo ngasihin gue ginian?”
“Musuh apaan dah,” 😐 lempeng dijawab. “Lo sama Wonu kan masalahnya udah kelar. Nyongi itu temen gue. Masa nggak boleh gue nemenin temennya Nyongi?”
Logika ngaco.
”...Beneran lo temennya Hosh?”
“Suwer. Gue kenal tuh anak dari kepanitiaan. Makanya gue kemaren kaget juga pas tau anak gue ada berantem sama cowok lo. Soalnya anak gue tuh, apa ya, bukan tipe cari ribut duluan, tapi emang sumbunya pendek banget. Sori ya. Bener-bener sori, kemaren.”
Joshua mengibaskan tangan sambil lalu. Seungcheol memperhatikan sisi wajahnya karena lelaki itu kemudian tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Rahang yang tajam. Muka yang kecil. Hidungnya mancung dan bibirnya penuh. Dari sisi sini, mata Joshua mirip mata kucing, lancip di sudutnya. Tapi, yang paling menarik adalah jakunnya. Lekukannya bagus. Bisa dibilang, lelaki di sampingnya itu sempurna secara fisik. Lusyu, kalo kata Jun saban hari sih.
Haah...kemaren pacarnya Gyu, sekarang pacarnya Nyongi...NAPA SIH YANG MUKANYA LUSYU-LUSYU DEMENAN GUE, SELERA GUE BANGET, UDAH PADA TAKEN SEMUA??
(Rintihan hatinya nohok amat sih, merasa terserang nih, jadi mau turut berduka cita 😢)
“Gue juga sori,” ringan, gumamnya, sambil menyandarkan punggung pada bangku. “Lo sampe keseret gitu, padahal lo nggak ada hubungannya.”
Jujur, Seungcheol kaget. Pasalnya, kesan yang dia dapatkan akan seorang Joshua Hong dari interaksi-interaksi sebelumnya bukanlah orang yang mau meminta maaf. Ego. Gengsinya tinggi, gitu. Tapi, mungkin saja dia yang sudah kelewat cepat menilai orang, padahal kenal aja enggak.
“Ya ada lah. Wonu anak laki gue,” karena bingung harus menanggapi permintaan maaf itu seperti apa, pada akhirnya, Seungcheol tidak menanggapi apa-apa.
Ketika Joshua terkekeh perlahan, ia makin kaget. “Anak laki lo banget?” selorohnya. “Lo aneh deh. Gue nggak pernah liat ada anak kuliahan anggep temennya as anak. Ngelindungin banget.”
“Lo juga kan?” jawabnya. “Sama Nyongi. Ngelindungin banget.”
Sejenak, Joshua diam. “...Dia beda. Dia harus gue lindungin. Kalo bukan gue, nggak akan ada lagi,” ucap Joshua dengan tegas.
“Gue juga kok, sama Wonu. Kalo bukan gue, siapa lagi?” lalu ia menambahkan. “Well, Wonu juga punya Jun sama Jihoon sih, jadi mungkin gue lebay aja. Dia anak kita bertiga.” Tawa menyelip keluar dari mulut Choi Seungcheol. Ringan dan tanpa beban, mendorong Joshua mengulum sebuah senyuman.
Oh.
“Jadi kita Laskar Bapak-Bapak apa gimana nih?” kekehan, lagi.
Dia bisa senyum semanis itu toh...
”...Kalo lo mau, gue bisa jagain juga Nyongi di sini, selama lo ngampus,” sebuah tawaran.
Joshua menggelengkan kepala. “Nggak usah. Gue bisa jagain dia sendiri. Lagian, gue nggak kuliah.”
“Oh? Kerja?”
“Freelancer doang,” akunya. “Ghostwriter.”
“Apaan tuh?”
“Yaaah... Intinya, gue nulisin buku orang. Gue dibayar buat nulis buku punya penulis yang lebih menjual, lebih terkenal dari gue. Jadi seolah-olah tuh buku dia yang nulis.”
“Ada gitu kerjaan kayak gitu?” 🤔
“Ada, Cheol,” kekehnya.
Perlu dua detik bagi keduanya untuk menyadari apa yang barusan terjadi.
“Oh, sor—”
“No problem,” Seungcheol buru-buru menyambar. “Semua juga panggil gue begitu. I want you to.”
“Tapi...”
“Josh.“
........
”...Suit yourself,” menyerah, Joshua pun membuka kaleng dan meneguk kopinya yang sudah mulai menghangat. “Cheol.”
Senyum Seungcheol merekah.
Inget, Cheol, itu pacar orang.