narrative writings of thesunmetmoon

37.

#minwonabo

Dilemparnya handphone ke kasur dengan hela napas yang berat. Pagi itu, matahari bersinar cerah. Dari jendela yang terbuka, terdengar cericip burung gereja dari pohon di depan kamarnya. Angin bertiup lembut, membaurkan tirai-tirai putih hingga nampak sedang menari di udara.

Hari yang indah. Sungguh kontras terhadap perasaannya yang tercabik kalut.

Ia mengambil bantal untuk menutup mukanya. Lelah. Lelah sekali... Tidak ada niat baginya menceritakan pada Jeonghan, pada siapapun, mengenai perasaan yang selama ini ia tutup rapat dalam relung hati yang terdalam. Jujur saja, ia bahkan belum sepenuhnya yakin apa yang ia rasakan pada Mingyu itu adalah cinta. Mungkin hanya sisi pongahnya, yang yakin bahwa Mingyu akan selalu kembali padanya, tak peduli seberapa jauh lelaki itu pergi.

Tak peduli pada siapa lelaki itu akan jatuh cinta, karena, pada akhirnya, Mingyu akan memilihnya. Mingyu takkan bisa hidup tanpanya.

That, sebelum omega itu datang.

Mungkin, hanya mungkin, sebenarnya Minghao masih punya kesempatan andaikata ia mau bersabar menanti, menunggu Mingyu bosan akan mainan barunya, kembali ke pelukannya yang hangat, yang familier, yang telah ia kenal bertahun-tahun lamanya. Namun, Minghao sudah bosan menunggu. Ia sudah menunggu selama ini. Menunggu terus, seperti si Bodoh yang naif.

Tanpa ia sadari, lelehan air mata membuat noda pada sarung bantalnya. Ia tertawa miris.

“Bego...,” terkekeh, dalam tangis. “Mingyu bego...”

Kemudian, ia memeluk erat bantalnya. Meraung, mengeluarkan semua. Sampai tuntas. Sampai habis segala harapan yang ia pupuk diam-diam. Sampai tak ada lagi sisa-sisa Mingyu melekat di dirinya.

Bagai racun yang ia buang.

.
.
.
.

Deringan pertama, dan orang di ujung sana langsung menyapa. Minghao tertawa kecil mendengar ketergesaan bercampur kelegaan dalam suara yang menyebut namanya.

“Bego...,” dia menghela kalimat pertama. “Gue juga sayang sama lo, Gyu...”

And he laughed together with him.

His almost-lover.