narrative writings of thesunmetmoon

40.

#wwnatsume

“Mati.”

Wonwoo menatap sang rubah.

“Rubah lainnya...?”

“Nggak ada,” gelengan kepala perlahan. “Cuma tinggal aku di sini. Dulu, ada banyak rubah di padang bunga ini. Bibiku membuat mahkota dari rangkaian bunga. Ayahku mengajakku berburu. Kakak sepupuku mengajakku menyelinap ke dunia manusia pas kita kecil, mengintip dari balik tiang kuil Rubah. Ibuku selalu tersenyum saat menyiapkan sesajen sebagai makan malam. Pamanku suka mengajakku memancing.”

Sang rubah tersenyum simpul mengingat itu semua.

“Tapi sekarang sudah nggak ada. Semua itu. Di situ.”

Ia menunjuk ke satu arah, entah ke mana. Wonwoo tidak menemukan apapun di sana selain hamparan bunga.

“Rumahku dulu. Aku ingat dulu tidur di sisi ibuku. Aku masih rubah kecil pas itu dan buatku, ibuku begitu besar dan hangat...”

Wonwoo menunduk, memilin-milin jemarinya. Ia tidak tahu harus berkomentar apa. Seperti melakukan kesalahan tapi tidak juga, karena dia toh hanya bertanya. Apakah rasa ingin tahu tidak selamanya baik untuk diikuti?

“Kalo...kalo nggak ada, berarti kamu...?”

“Rubah terakhir,” ia mengangguk membenarkan. “Kalo aku mati, ya sudah. Habis. Punah.”

“Karena itu, kamu...saya...”

“Jeon Wonwoo.”

Kaget, ia, saat sang rubah menggenggam kedua tangannya.

“Kenapa kamu pakai bahasa formal sama aku?”

”...Hah?”

“Aku dengar kamu ngobrol sama makhluk lain. Sama kucing itu. Sama anjing itu. Sama si dukun itu juga. Kamu nggak pakai bahasa formal. Sebenernya aku penasaran banget, kenapa sama aku kamu jadi mendadak formal gini?”

“I-i-itu-saya-kalo sama makhluk asing-nggak sopan-”

“Jangan pakai bahasa formal ke aku. Kita kan bakal nikah. Tolong?”

“Y-ya, mana bisa! Lagian, nikah...saya nggak mau! Kamu juga, siapa, saya nggak kenal—”