45.
“Lo nggak takut?”
Mereka sedang di rumah Wonwoo. Ibunya memasak makan malam dan mengundang Joshua sekeluarga. Sekarang, orangtua mereka masih makan di dalam, sedangkan Wonwoo dan Joshua duduk-duduk di teras belakang. Dari sini, nampak kuburan Nyingnying yang dipenuhi bunga segar dari Joshua. Meski usianya pendek, Joshua harap kucing itu bahagia selama hidupnya.
“Apanya?” disesapnya limun dingin. Joshua menengadah menatap langit malam yang cerah bertaburkan bintang.
“Lo. Sama Mingyu. Lo nggak takut?” Wonwoo bingung harus bertanya bagaimana agar tidak terjadi kesalah pahaman. Untungnya, Joshua paham.
“Maksud lo, apa gue takut kalo ketahuan gue gay?”
Wonwoo diam saja. Terus memandang lurus ke perkarangan rumahnya. Jumper-nya yang berwarna biru donker kebesaran sehingga menutupi sampai bagian tangan, menyisakan ujung-ujung jemarinya saja. Dibandingkan tangan Joshua, tangan Wonwoo begitu mungil.
Mereka seakan cocok terhadap satu sama lain. Tangan Wonwoo yang pas dalam genggaman tangan Joshua. Tubuh Joshua yang pas dalam pelukan tubuh Wonwoo yang lebih lebar. Wajah Joshua yang kecil, pas di bahunya, bertumpu di sana kala Joshua membanting kepala ke belakang dalam gelak tawa bertahun-tahun yang lalu...
Wishful thinking. Pathetic.
“Gue literally bawa Mingyu ke rumah, kan?” ringan, tawa itu. “Bonyok gue udah tau.”
“Mereka nggak...emm m-marah?”
“Kenapa nih, kok lo mendadak kepo?” meringis, Joshua memajukan badan. Wonwoo, kaget karena mendadak Joshua masuk dalam zona personalnya, refleks menjauh sedikit. “Jangan-jangan...”
Wonwoo meneguk ludah.
”...lo naksir cowok, Won?”
(Iya. Kamu.)
Buru-buru Wonwoo menggeleng. Tentu saja dia nggak bisa ngomong kayak gitu pada sahabat sejak kecilnya, apalagi sahabat itu sudah ada yang punya. “Nggak kok, cuma, eh, nanya aja,” tawanya terdengar dipaksakan. “Soalnya, sekeliling kita kan, yah...”
“Well,” Joshua menghela napas. Kembali punggungnya merebah ke kursi. “Gue langsung kenalin Gyu as cowok gue. Gue nggak mau nyimpen rahasia sama ortu gue sendiri. Nyokap shock di awalnya, tapi cuma beberapa hari, dia udah bisa nerima dan sekarang ngedukung gue.”
Joshua menarik napas sebagai jeda.
“With bokap...not so good.”
Wonwoo menunduk, kini. Dia memainkan jari-jemarinya sendiri. Semilir angin bertiup mengacak rambut mereka. Malam yang sejuk dinaungi bintang dan bulan yang indah.
“Dia ngamuk. Dia maki gue. Dia maki Mingyu. Dia usir Mingyu dari rumah, nggak sudi nerima kalo anaknya pacaran sama cowok. Dia nyuruh gue putus sama Mingyu dan kembali ke 'jalan yang bener' dan mulai pacaran sama cewek. Dia bilang, gue 'sakit', Won. Kena 'guna-guna' lah. Gegara 'pergaulan bebas' lah. Asli, agak kocak sih kalo dipikir-pikir tuduhannya.”
Sunyi. Suara sayap jangkrik bergesekan pun membesar, mengisi kesunyian tersebut.
”...Lo tau lo suka cowok...sejak kapan, Shua?”
Joshua tersenyum simpul. “Kapan ya...,” gumamnya. “Jujur, gue nggak tau, Won. Gue selama ini mikir gue sukanya sama cewek, walo gue juga nggak merasa pernah suka sama seorang cewek pun, tapi gue pikir itu karena gue belom nemu aja cewek yang pas.
Terus, temen gue, Vernon, ngajakin gue kongkow. Dia gay and open about it. Dia punya cowok dan gue diajak kongkow di rumah cowoknya. Vernon bilang kalo gue cobain aja dulu cipokan sama cowok.”
Joshua ketawa perlahan di sini.
“Pas gue bilang kalo gue kan harusnya cipokan sama cewek, Vernon cuma bilang, 'says who?'”
Wonwoo pelan-pelan menoleh, memandangi sisi samping Joshua.
“Sesimpel itu, Won. Dia bener. Dia bener banget. Kata siapa? Says who? Siapa yang bilang gue harus cipokan cuma sama cewek? Siapa yang bilang gue nggak boleh cipokan sama cowok? Siapa yang bilang cewek nggak boleh cipokan sama cewek? Siapa yang nentuin itu semua?“
Wonwoo cuma bisa diam dan membiarkan Joshua mengeluarkan uneg-unegnya.
“Terus terang, gue kaget pas bokap gue ngamuk, Won. Segitu tabunyakah gue cium cowok? Padahal yang gue dan Mingyu lakuin cuma ciuman, cuma pelokan, cuma gue senderan ke bahunya pas kita lagi nonton ato kepala dia di pangkuan gue kalo kita lagi main hape. Cuma berbagi headphone dengerin Spotify bareng terus curi-curi satu ciuman pas nggak ada yang liat. Cuma jalan gandengan tangan di gelap malam dan langsung lepas kalo ada orang yang lewat. Cuma itu, Won.
Gue nggak ngerampok. Nggak nipu. Nggak ngebunuh orang. Nggak merkosa anak orang. Nggak hamilin anak orang. Gue nggak ngobat, nggak judi. Nggak ngapa-ngapain, Won.
Gue cuma cium cowok lain. Cuma itu.
Segitu tabunyakah?“
Wonwoo bisa mendengar dengan jelas. Rintihan minta pertolongan. Joshua telah menahan semua ini jauh di dalam tubuhnya. Meski dia berada di tengah teman-teman yang seperti dirinya dan ibu yang mendukung preferensi seksualnya, tetap saja hatinya terluka. Tetap saja dipenuhi gundah gulana yang terus membayangi dirinya.
“Shua...,” ia pun merangkul sahabatnya itu, membiarkan Joshua merangkulnya balik. Wajahnya membenam di bahu Wonwoo, sementara tangan Wonwoo menepuk-nepuk pelan punggung Joshua, mencoba menenangkannya.
Wonwoo takut.
Sekujur bulu kuduknya merinding. Bagaimana dengan dirinya sendiri? Bagaimana kalau dia yang berada di situasi serupa? Bagaimana kalau orangtuanya tahu bahwa dia menyukai Joshua jauh, jauh sebelum dia bahkan menyadari kalau dia jatuh cinta sama Joshua? Bagaimana nasibnya nanti?
Wonwoo takut. Joshua takut.
Mereka dua anak manusia yang tinggal di tengah dunia yang kejam dan menakutkan.