narrative writings of thesunmetmoon

46.

#wonshuashort

Hari ke-tujuh. Wonwoo dan Joshua bertandang ke tempat-tempat yang lama nggak mereka datangi. Dengan santai menyusuri kota di jam mendekati makan siang (karena, tentu, mereka baru bangun jam 9 pagi), mereka menaruh bokong mereka di restoran kecil namun populer di antara warga lokal. Memesan menu makan siang spesial hari itu, kedua sahabat itu pun bertukar cerita akan hal-hal remeh (“kemaren animenya kurang seru, besok-besok kita tonton judul lain!”) maupun hal yang mereka lewati karena sempat renggangnya tali silaturahmi mereka (“bukan, yang nikah itu anak dari adek sepupu nyokap gue, bukan si anu kok”). Mereka mengisi celah yang ada dan kembali, sekali lagi, menjadi dua orang sahabat sekaligus tetangga sejak kecil.

Di suatu momen, Joshua berhenti berbicara. Dia mengulurkan tangan, menangkup tangan Wonwoo di atas meja, dan berkata, “I miss you.”

Bohong jika Wonwoo bilang jantungnya nggak berdegup lebih cepat. Dia sempat meremas balik tangan Joshua sebelum tangan itu segera hilang supaya nggak ada siapapun yang melihat. Gosip nggak peduli apakah Wonwoo dan Joshua adalah sahabat. Yang mereka lihat hanya dua lelaki berpegangan tangan dan itu adalah sumber masalah.

“I miss you too...”

Meski hanya bisikan, Wonwoo lega karena Joshua melebarkan senyumnya yang manis. Matanya memejam karena tarikan bibir. Sempurna.


BYUR!

Suara tawa dan bunyi air. Hari ke-delapan dan mereka memutuskan untuk berenang. Kolam renang umum dekat rumah mereka cukup ramai karena, jelas, itu masa liburan sekolah. Mereka menempati suatu pojokan dan hanya bermain-main seperti biasa. Wonwoo memakai lotion karena mentari hari itu menyengat parah. Ketika bagian punggung, tangannya nggak sampai sehingga Joshua membantunya meratakan lotion di sekujur punggungnya.

Begitulah keadaan ketika mereka ditemukan Seungcheol, Jeonghan, Jihoon dan Jun.

Nggak luput dari godaan Jeonghan, Joshua pun segera melepas tangannya. Jihoon dan Jun menimpali, tapi, mengetahui pasti kalau mereka cuma bercanda, Wonwoo pun mendecak dan mengalihkannya begitu saja.

Tapi, nggak begitu halnya dengan Seungcheol. Wonwoo tau Seungcheol memandanginya dengan kernyitan di alis, namun dia sengaja nggak mengindahkannya.

Mereka pun berkumpul dan mengobrol. Cuma Seungcheol yang lebih diam dan menjaga jarak dari biasanya, terutama dari Joshua. Wonwoo memperhatikannya. Seungcheol nggak mencoba bicara sama Joshua, pun saat Joshua bertanya padanya, dia cuma bergumam saja. Wonwoo nggak suka. Jelas perbuatan Seungcheol bikin Joshua nggak nyaman. Tetapi, karena ketiga orang lainnya nggak menyadari hal itu dan mereka mengobrol seperti kawan lama yang berjumpa lagi, Wonwoo pun nggak melakukan apa-apa. Seenggaknya, Seungcheol nggak mulai melecehkan Joshua dengan omongan menghina.

Mereka pun bermain hingga petang menjelang (di tengah-tengah, Seungcheol pamit untuk bertemu pacarnya dan berenang bersama cewek itu) dan Wonwoo senang karena Joshua terlihat bahagia karena berkumpul lagi dengan teman-teman lama mereka. Jeonghan mengacak rambut Joshua dan Wonwoo, menyuruh mereka sering-sering pulang karena tahun depan, dirinya juga akan pergi dari kota ini untuk kuliah. Jihoon dan Jun memeluk dan merangkul bahu mereka, mengucapkan pesan yang hampir serupa dengan Jeonghan, agar Joshua dan Wonwoo lebih sering pulang. Kangen, katanya.

Mereka sepakat untuk mampir membeli es krim di kedai pinggir jalan di luar kolam renang itu. Namun, langkah Wonwoo dihentikan oleh tangan di bahunya.

“Lo nggak dengerin gue ya?”

Seungcheol. Wonwoo berbalik. Parasnya menjadi kaku.

“Dengerin apa ya, Bang?”

Seungcheol mendecak. “Lo mau dicap gay juga, Won?” Wonwoo mengernyit mendengarnya. “Napa lo masih deket-deket Shua, sih? Ntar nular lho.”

“Joshua temen gue. Dan gay itu bukan penyakit. Gue nggak bisa ketularan dari dia. Dan gue suka dia duluan, jauh sebelom dia jadian sama cowok,” dijawabnya dengan mendesis rendah. Tangannya mengepal kencang, ingin rasanya menghajar Seungcheol dan mulut lancangnya. “Lo ngapain deket-deket gue, Bang, ntar lo yang ketularan.”

Seolah tersadar, Seungcheol langsung menarik tangannya dari bahu Wonwoo dengan kaget. Dia nggak mengusapnya ke baju, tapi dari gerak-geriknya, Wonwoo tau kalo dia akan melakukannya segera setelah Wonwoo berbalik dan pergi, seakan menyentuh cowok yang suka cowok lain adalah najis.

Bangsat, rutuk Wonwoo dalam hati. Namun, dia tahu, Seungcheol adalah personifikasi dunia dan perlakuan mereka terhadap homoseksual. Dia nggak bisa berbuat apa-apa karena merubah cara pandang dan nilai moral seseorang nggak semudah membalikkan telapak tangan.

“Gue mau balik ke mereka,” dia memutuskan bahwa nggak ada lagi perkataannya yang bisa memutar mindset Seungcheol. Seperti bicara pada tembok saja. Sia-sia. “Lo ikut?”

“Cheol!”

Wonwoo mendongak ke belakang kepala Seungcheol. Pacarnya ternyata menunggu.

“Bentar!” kemudian, nadanya merendah menjadi bisikan. “Lo yakin, Won? Lo yakin, mau buang keluarga lo, temen-temen lo, kehidupan lo yang normal, demi dia? Demi Shua?”

Mata Wonwoo berkilat oleh amarah.

He's worth it.

Dari celah geligi yang digertakkan dan tangan yang terkepal kian kencang, dia mengucapkan kalimat yang selama ini dia pendam sejak Seungcheol menanyakan di chat buat apa ini semua. Kalimat yang, ketika akhirnya diucapkan, memberikan penutupan final akan semua kegundahan Jeon Wonwoo sejak dia menyadari dia jatuh cinta sama sahabatnya sendiri ketika kelas 1 SMP.

“Joshua's worth it. He's worth it.”

Untuknya membuang segala. Hati itu nggak bisa dan nggak akan pernah bisa berbohong. Wonwoo diam dan mendengarkan apa kata hatinya dan hatinya berkata: Joshua. Joshua. Joshua.

Cinta.

Seungcheol memandangi bingung wajah Wonwoo. Kemudian, dia mendengus kesal dan berbalik menjauh. Nggak ada salam perpisahan. Nggak ada kehangatan yang dulu dia bagikan dengan murah hati terhadap si kecil Jeon Wonwoo yang mengikutinya seperti anak bebek. Seungcheol, yang Wonwoo sudah anggap sebagai kakak lelakinya sendiri, kini begitu dingin dan meninggalkannya hanya karena dia menyukai Joshua.

Nggak apa-apa.

Because Joshua's worth it.