narrative writings of thesunmetmoon

47.

#wonshuashort

Hari ke-sepuluh.

“Temenin gue yuk, Won?”

“Ke mana?”

“Belanja.”


“Buru, Woonn!”

“Pegangan!”

Mereka tertawa terbahak-bahak. Kelas 2 SMA mereka kini, namun seperti nggak pernah tumbuh. Nggak pernah berpijak jauh dari diri mereka saat kelas 1 SMP. Joshua masih terduduk di dalam troli, kakinya meringkuk dengan belanjaan mereka bertebaran di sekitarnya. Tangannya meraup beberapa kantong snack dari rak saat troli melaju kencang di lorong itu. Wonwoo masih mendorong troli tersebut, mengerahkan sekuat tenaga hingga Joshua merasa bagai melambung tinggi ke angkasa.

Bebas. Bebas.

Nggak ada orangtuanya. Nggak ada Mingyu. Nggak ada teman-temannya. Nggak ada guru-guru dan tetangga. Nggak ada mereka yang menolak dan menggunjingkannya, terang-terangan atau di belakang. Nggak ada orang-orang yang telah menyakiti hatinya, menoreh sedikit demi sedikit luka hingga hati itu borok sudah, bersimbah darah dimana-mana.

Hanya ada dia dan Wonwoo. Berdua. Bersama.

Bebas.

Joshua Hong kembali menjadi Joshua Hong, yang aman dalam dunia yang melindunginya, yang menimangnya dengan lembut bagai porselen berharga. Gelak tawanya melantun merdu. Kepala terpelanting ke belakang. Sekali lagi, ia menemukan kenyamanan dengan bersandar pada bahu sahabat baiknya.

Hangat.

Wonwoo nggak pernah berubah. Wonwoo-nya. Yang baik, yang ramah. Yang cukup bandel namun bertanggung jawab. Yang nggak mau Joshua nangis sendirian. Yang menolong kucing kecil dari got dan mengadopsinya, walau dia dikurung tiga hari oleh ayahnya karena bersikeras memiara kucing itu. Yang selalu bersamanya, bergandengan tangan, dalam susah maupun senang.

Dan, bahkan, ketika Joshua membawa pulang Mingyu, secara gamblang memberitahukan bahwa dirinya antara gay atau biseksual (karena, jujur, Joshua masih merasa cewek itu menarik dan, mungkin, masih menyukai cewek andaikata dia bertemu yang pas), Wonwoo nggak menjauh darinya. Wonwoo nggak merasa jijik sama dia. Justru sebaliknya.

Di suatu momen, Wonwoo kelelahan mendorong troli dan mengerem mendadak. Joshua, kaget, ketawa lugas. Mereka berdua tertawa bareng sampai tangis membasahi sudut mata dan perut mereka sakit. Entah kapan, Joshua mengusap pipinya ke bahu Wonwoo. Entah kapan, pipi Wonwoo menetap di sisi kening Joshua. Jarak mereka begitu dekat.

”...Kayaknya gue bakal tidur sama Mingyu, Won.”

Seketika, hening. Wonwoo menarik napas dan, perlahan, amat perlahan, dengan kedua mata membelalak, dia menoleh memandang Joshua. Yang dipandang hanya tersenyum lesu. Matanya yang seharusnya berkilauan bahagia, kini kuyu seolah pasrah akan apapun yang terjadi dalam hidupnya.

Joshua yang Wonwoo kenal bukan Joshua yang seperti ini.

Bibir Wonwoo membuka, menutup, lalu membuka lagi ketika dia akhirnya bisa bertanya, “...Kenapa?”

Joshua mendengus geli. “Karena dia cowok gue?” jujur, Joshua juga nggak tau kenapa. Kenapa dia harus tidur sama Mingyu walau hatinya bilang nggak mau? Padahal, nggak ada aturannya pacaran itu harus tidur bareng. “Yah, gue masih ngerasa kalo pacaran nggak harus tidur bareng sih, tapi kalo cowok gue minta, yaudahlah.”

Dia mencoba menjawabnya seringan mungkin. Joshua bukan perempuan. Nggak banyak yang bakal hilang dari dia kalau dia menyerahkan dirinya pada Mingyu.

“Lagian, Mingyu ganteng dan tinggi. Nilainya bagus, bokapnya tajir. Anaknya baek. Dia juga sayang sama gue,” selorohnya. Mungkin kalau mengangkat sisi positif Mingyu selama ini, dia akan lebih rela. “Susah, Won, nemu cowok grade S kayak Mingyu, apalagi kalo cowok kayak gue yang B aja begini.” Joshua ketawa. Diduselnya pipi ke bahu Wonwoo. Ujung hidung mereka hampir bertemu. “Mungkin nggak akan ada lagi cowok yang sayang sama gue selain Mingyu, jadi gue rasa nggak apalah kalo gue kasih perawan gue ke dia.”

...Salah. Salah. Bukan begitu.

Karena Wonwoo terus saja menatapnya dalam diam, kaku, tenggelam dalam pemikiran sendiri, Joshua pun menelengkan kepala bingung dan mencoba memanggilnya.

”...Won?”

Ada. Ada cowok di sini yang sayang sama kamu. Sayang sama kamu lebih, lebih, lebih, lebih, lebih, daripada Kim Mingyu.

“Wonu...,” Joshua, mulai cemas, mengangkat tangan untuk menangkup pipi kanan Wonwoo. “Won, lo kenapa? Kok muka lo gitu?”

“Kayak gimana?” tanpa disadarinya, mulutnya sudah bergerak sendiri.

Aku, Shua. Aku yang jauh lebih cinta sama kamu.

Joshua tersenyum. Bibirnya yang merah merekah nampak indah.

“Kayak lo punya sesuatu yang mau lo bilang ke gue, tapi lo tahan.”

Aku.

Dan terjadilah. Ketika pertahanan yang dia bangun sejak kelas 1 SMP hancur sudah. Ketika kepala Wonwoo merangsek maju dan menempelkan bibirnya pada bibir Joshua. Ketika tangan Joshua di pipinya dia tangkup dan tahan di sana. Dan ketika tangan Wonwoo yang satu lagi mendorong tengkuk Joshua hingga sahabatnya itu nggak bisa berkutik, duduk tegang di dalam troli. Terlalu kaget. Terlalu mendadak.

Terlalu nggak terduga.

Bibir Joshua lembut, seperti yang selama ini Wonwoo bayangkan. Agak kering dari dugaannya, mungkin Joshua lupa menyapukan lip balm rasa stroberinya di sana. Wonwoo refleks menjilat bibir bawah Joshua sekilas, melembabkan bibir itu, menghadiahi dirinya dengan sentakan napas Joshua, lalu lanjut mencium bibirnya untuk beberapa saat sebelum, kemudian, dia lepas untuk menghembuskan napas yang tertahan.

Wonwoo kira Joshua akan menamparnya. Menangis, atau marah. Mungkin Joshua akan memandangnya dingin. Gelap mata sesaat yang akan disesali Wonwoo seumur hidup.

Namun, Wonwoo nggak pernah mengira kalau Joshua akan menatapnya. Pandangan nanar. Bibir agak terbuka dan berkilau oleh bekas jilatan Wonwoo di sana. Dia juga menarik napas dalam-dalam, mengisi lagi relung paru-parunya dengan oksigen. Parasnya sungguh kebingungan, tetapi nggak ada satupun jejak kekesalan maupun kekecewaan di sana. Wonwoo terlalu terpukau untuk bergerak, hanya bisa menatap Joshua tepat di mata sambil meredakan debar jantungnya.

Dan, mendadak, Joshua merangkul lehernya, menarik kepalanya dan mulai menciumi bibir Wonwoo lagi. Lekat. Legit. Kali ini, lidahnya masuk ke dalam mulut Wonwoo. Dalam dada Wonwoo, membuncah kembang api dan seribu kepakan sayap kupu-kupu. Dia berusaha mengimbangi dengan menggigiti dan menarik bibir bawah Joshua, sebelum kembali menjelajahi bagian dalam mulut Joshua dengan lidahnya. Dia menjilat lidah lunak di dalam sana, menggelitiki dinding atas mulutnya, bahkan menjilat gigi Joshua, seolah di sana adalah dunia baru yang pintunya baru dibukakan untuk Wonwoo.

Troli terdorong ke lemari pendingin yang memuat minuman kemasan, menghimpit Joshua di antara dirinya dan dinginnya pintu kaca yang berembun itu, namun Joshua terlalu sibuk menyelusupkan tangan ke rambut Wonwoo untuk menyadarinya. Ditelusurinya kulit kepala Wonwoo dengan ujung-ujung kuku. Diacaknya, dijambakinya perlahan. Bibir mereka bertautan tak kunjung lepas, seakan masing-masing adalah oksigen yang mereka butuhkan untuk hidup.

Ketika, pada akhirnya, mereka harus melepaskan ciuman mereka, telapak tangan Wonwoo bertumpu pada lemari pendingin itu. Satu lagi tangannya menggenggam sisi samping troli. Lengan Joshua masih merangkul leher Wonwoo, masih nggak rela kehangatan yang dia rasakan itu pudar begitu saja. Keduanya terengah. Debar jantung yang sangat kuat menulikan Wonwoo untuk sesaat.

Joshua menjilat bibirnya sendiri, memutuskan benang liur yang menjembatani bibirnya dengan bibir Wonwoo. Dia kemudian meneguk ludah susah payah, sebelum bibirnya kembali membuka. Mata Joshua terus terpejam, sedangkan Wonwoo masih menyipit, masih keluar dari fokus. Masih berusaha membungkus logikanya atas kejadian barusan. Sesuatu yang nggak dipercaya bisa terjadi.

”...”

”...”

Kata-kata, kali ini, rasanya nggak penting. Wonwoo menghembuskan napas, yang mengenai bibir Joshua karena wajah mereka masih begitu dekatnya. Wonwoo menggerakkan bibirnya beberapa inci di atas bibir Joshua, yang lalu direspon dengan Joshua yang juga menggerakkan bibirnya tanpa menyentuh bibir Wonwoo. Ingin mencium lagi, ingin berciuman lagi,

tapi ragu.

”...Won,” hembusnya. “Apa ini? Apa...ini?”

Jawaban. Sebuah penjelasan. Dia hanya perlu itu. Hanya perlu penjelasan mengapa Wonwoo, sahabatnya, tetangganya sejak kecil, tiba-tiba menciumnya. Ingin tau? Penasaran? Kesal karena temannya direbut oleh cowok lain? Sebagai penghiburan atas kegundahan hati Joshua?

Apa?

”...Ada di sini.”

“Apa?” Joshua nggak paham.

“Nggak akan ada lagi cowok yang sayang sama kamu. Itu salah. Ada di sini,” Wonwoo pun menangkup kedua pipi Joshua dengan lembut. “Di sini. Selalu di sini. Joshua.” Wonwoo mau menangis. Dia sudah nggak bisa menahannya. Nggak bisa lagi menahan perasaan ini. “Joshua. Aku selalu ada di sini. Di sini. Nunggu kamu, bertahun-tahun. Selamanya.”

Bola matanya berkaca-kaca.

Lihat aku, Joshua...

Habis kata-kata. Joshua nggak tau bagaimana mereka bisa pulang dari hypermarket itu. Nggak tau bagaimana dia bisa menyeret Wonwoo ke rumahnya yang kosong karena orangtuanya sedang pergi dan baru akan pulang besok siang. Nggak tau bagaimana dia bisa menarik Wonwoo ke kamarnya, ke ranjangnya, dan bercinta semalaman dengannya tanpa kecanggungan maupun keengganan. Bahkan ketika mulut Wonwoo berada di tempat yang nggak semestinya dan jari-jemari itu menjajah menemukan setiap jengkal kulit telanjangnya, Joshua hanya bisa mengerang dan membiarkan sahabat sejak kecilnya itu mengambil sesuatu yang amat berharga baginya. Dia ingin memberikannya pada Wonwoo. Hanya padanya.

Suatu pemikiran yang menakutkan, yang pastinya akan menjadi bencana ketika dia sadar keesokan pagi.

Namun, malam ini, biarkanlah dia menjadi gila oleh rasa nyeri yang nikmat yang Wonwoo berikan padanya.