49.
Deg-degan.
Mungkin itulah kata paling tepat untuk menggambarkan perasaan Mingyu saat ini. Berdiri gelisah di depan pintu berwarna hitam yang besar, ia mengecek jam tangannya. Jam 8 lebih 9 menit. Sudah 5 menit berlalu sejak ia mengabari kedatangannya lewat Whatsapp dan Wonwoo merespon dengan sebuah 'Oke'.
Di tangan kiri Mingyu, kantung kertas isi 4 bento.
Di tangan kanan Mingyu, kantung plastik isi bahan-bahan makanan.
Iya, tidak hanya membawa makanan, Mingyu juga secara insting mendorong troli di Hero, memilih kentang, wortel, bawang bombay, sekotak besar daging sapi dipotong dadu, apel, madu, shoyu, saus tomat hingga jahe merah dan, tentunya, tak lupa, dua kotak besar curry roux (S&B; menurutnya, House kurang lezat). Ia tidak tahu apakah Wonwoo suka masakan Jepang, tapi kare mudah dibuat dalam jumlah banyak dan bisa dipanaskan hingga berhari-hari ke depan.
Menilik dari percakapan nirkabel mereka, Wonwoo sepertinya tidak terlalu peduli akan asupan gizinya dan hal itu membuat Mingyu cemas. Ia tidak suka omeganya tidak terurus seperti itu.
Omeganya.
Lantas, digelengkan kepala sambil memejamkan mata kuat-kuat. Tidak, tidak, Kim Mingyu, jangan takabur..., batinnya. Dia bukan milikmu, meski kamu sudah membeli—
“Mingyu?”
Pecah, semua pikiran. Mata yang terpejam pun membuka saat itu juga untuk menangkap sosok yang datang dari balik pintu. Rambut hitam yang indah. Bola mata legam yang menatapnya sungguh tajam, meski kulit wajahnya nampak halus dan mengundang untuk dielus lembut. Suara yang dalam tetapi juga ringan. Wangi manis menguar, bau kue sedang dipanggang pun merasuki hidungnya. Tidak dengan intensitas sedahsyat pertemuan pertama mereka, namun tetap saja wanginya sungguh...sungguh...
...enak.
Mingyu mulai pening. Serta-merta, diangkatnya lengan untuk menghirup pergelangan tangan bagian dalam. Di titik itu telah ia semprotkan banyak-banyak scent blocker, selain ia banjuri dirinya sendiri dengan spray yang sama di mobil sebelum turun tadi. Ia tidak begitu bodoh hingga mengulangan kesalahan yang sama.
Sayangnya, Wonwoo tidak berpikir serupa.
“Malam, Wonwoo,” setelah ia agak tenang, disapanya omega itu dengan senyuman di wajah.
Mingyu, mengharapkan Wonwoo tersenyum balik padanya seperti di chat mereka, dibuat terkejut karena omega itu hanya mengangguk sebelum membukakan pintu lebih lebar dan mengambil kantung kertas isi makanan dan salah satu kantung plastik. Ia berbalik masuk ke dalam rumah, setelah bergumam perlahan, “Tutup lagi.”
Kebingungan, Mingyu menutup pintu menggunakan kakinya, lalu mengikuti Wonwoo dari belakang seperti anak ayam.
Rumah itu...sangat megah. Kuno dan tua, mungkin agak sedikit berbau apak, tapi mewah. Permadani dari Persia yang sudah kusam. Chandelier kristal di atas meja bundar dan vas besar isi bunga segar. Grandfather's clock berbunyi tok-tok-tok yang berat...
Terus terang, bukan selera Mingyu sama sekali. Apartemennya di daerah elit SCBD didesain modern dan minimalis, sehingga rapi dan sesuai fungsi. Namun ia diam. Ia tidak begitu peduli akan rumah itu, masih bisa dirombak jika ia inginkan. Ia lebih peduli akan Wonwoo.
Diikutinya Wonwoo sampai dapur. Ada sebuah meja dengan 4 kursi di sisi dekat jendela. Kedua kursi sudah ditempati orang lain, seorang yang pendek dan seorang yang sipit; dua-duanya menatap Mingyu seolah sedang menelitinya. Menilainya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, ketika ia menaruh kantung plastik belanjaan di atas konter.
“Mingyu,” suara yang dalam itu lagi. “Ini Lee Jihoon dan Kwon Soonyoung.”
Mingyu menoleh ke arah Wonwoo. Masih datar. Poker face. Tidak ada senyuman atau...atau raut senang karena akhirnya mereka bertemu di wajah itu. Hampir Mingyu mendeking sedih.
Ia kecewa.
“Jihoon, Soonyoung, ini Kim Mingyu,” jeda yang ganjil, sebelum Wonwoo melanjutkan dengan agak terbata. “A-alpha saya...”
Mata Mingyu melebar. Wajah Wonwoo masih datar, tapi jelas sekali pipinya merona.
Jangan-jangan...
Refleks, Mingyu menggenggam pergelangan tangan Wonwoo, membuatnya tersentak kaget.
“Lo...,” tatapnya mencari pembenaran, sebuah dukungan akan teori yang mendadak terpikirkan. Ia tidak segan untuk mempererat genggamannya agar Wonwoo tidak berpikir untuk kabur. “...jangan bilang...sekarang lo ini lagi...seneng??”
Rona di pipi Wonwoo semakin memerah.
Oh, damn right he is.