5.
“Won, ini ya.”
“Umm.”
“Rambut lo?”
Tanpa banyak bicara, Wonwoo mencabut sehelai rambutnya dan diberikannya pada Jihoon. Mereka terlalu pagi datang ke sekolah, sehingga kelas masih cukup sepi. Kucing hitam itu pun memasukkan helai rambut Wonwoo ke dalam gelang anyaman Jeonghan, kemudian membisikkan beberapa patah kata. Sekilas sinar keunguan lembut menyelimuti gelang itu sebelum hilang seutuhnya, melesap masuk ke dalam gelang.
Saat Jihoon memakaikan gelang itu ke pergelangan tangannya, Wonwoo merasakan hangat yang menentramkan hati. Yoon Jeonghan, meski kelihatannya begitu, kekuatannya memang tidak main-main.
“Oke. Udah.”
“Trims, Jiji,” senyumnya.
“Bilang ke Hani, bukan ke gue. Lagian lo sih, ketempelan mulu. Kalo ketempelan kayak gue sih nggak apa, lah ini aneh-aneh aja. Ya kappa lah. Ya bayi anjing tengik lah—”
“WOOOOONNNNNNN~WOOOOOOO~HYUUNNGGG~“
BLUG!!
“Aduh!”
”...Baru juga gue bilang” 🙄
“Pagi, Wonu-hyung~ hari ini pun wangi Hyung enak banget~” (endus endus) “Gue selalu laper kalo pagi-pagi nyium Hyung~” (endus) “Kapan Hyung mau dimakan gue—”
(endus)
“Aduh....Gyu, pergi sana ah, berat nih! Lagian ini bukan kelas lo!”
(endus)
“Hyung...”
(endus endus endus)
”...ini bau siapa? Lo mungut anak baru lagi, Hyung?”
Mendengar gumaman Kim Mingyu, anak yang berada setingkat di bawah mereka sekaligus siluman anjing penunggu kuil di seberang kuburan utama desa mereka (bayi anjing tengik, begitu Jihoon senang menyebutnya, seolah mereka tidak sering bercengkrama di altar persembahan tiap kali Jihoon tidur siang di kuil itu dahulu kala), Lee Jihoon mengernyitkan alis. Kucing hitam itu ikut berjongkok sementara Mingyu mengendusi Wonwoo yang terlentang di bawahnya.
“Kenapa, Gyu?” Jihoon menyela. “Lo cium bau apa?”
(endus endus)
”...Gyu?”
(endus)
“Hyung,” alis Mingyu menukik dalam keheranan. “Kenapa lo mungut rubah?”