51.
Jangan mati, jangan mati, jangan mati—
Kalimat itulah yang bergema dalam kepala Mingyu selama ia berderap tergesa menuju bukit tempat kolam sang Kappa berada. Detik demi detik, ketahanan raga sang Kappa tanpa mangkuk air di bawah mentari musim panas yang menyelekit semakin berkurang drastis. Mingyu tidak mempedulikan apapun selain makhluk yang terbujur lemah di punggungnya itu. Bagi mereka yang tak bisa melihat, dunia seakan bergetar bak gempa lokal. Bagi mereka yang bisa, harus rela memijit jantungnya karena kemunculan sekelebat siluman anjing putih yang besar di jendela rumah mereka.
(Ah, tapi kalau mereka bisa melihat dan memutuskan untuk tetap tinggal di desa ini, seharusnya mereka sudah terbiasa dengan keanehan beraneka ria)
Tiap langkah yang cakarnya ambil, mereka pun semakin dekat dengan tujuan. Perumahan warga dengan cepat berubah menjadi pepohonan yang semakin lebat. Para jizou yang ia lewati hanya membelalak kaget, namun mereka tak bisa bergerak dari sana. Mereka hanya bisa meneriakkan kecemasan dan permohonan untuk menolong sang Kappa ketika Mingyu melintas. Ia tidak perlu menjawab semua itu. Mereka toh sebenarnya sudah tahu kalau ia takkan pernah menelantarkan makhluk apapun yang butuh bantuannya, termasuk sang Kappa.
Kolam sang Kappa pun nampak. Mingyu melompat untuk yang terakhir kali dan, tanpa ragu, ia melompat masuk begitu saja, membiarkan air tumpah meluber dari pinggir kolam.
BYUR!
...Dingin.
Minghao bisa merasakan sejuknya air menyapu permukaan kulitnya. Buih-buih menempel, lepas dari hidung dan bibirnya. Kedua mata sang Kappa masih terpejam, masih terlalu lemas untuk membuka, namun ia tak luput akan lengan seseorang di sekeliling pinggangnya, menahan tubuhnya mantap selama ia diseret masuk semakin dan semakin jauh, sampai sinar dari permukaan kolam hampir hilang.
Mingyu dengan tubuh manusianya berusaha keras untuk menahan napasnya di bawah air. Rumah sang Kappa berada di dasar kolam yang amat dalam itu. Kappa memang tidak memiliki satu mangkuk semata, tetapi mereka menyimpannya di tempat yang merepotkan, dimana hanya makhluk berinsang yang bisa meraihnya. Mingyu jelas tidak punya organ penting tersebut dan harus mengandalkan paru-paru tubuh manusianya, karena wujud aslinya terlalu besar dan penuh bulu untuk bisa bergerak selincah mungkin dalam air.
“Brrupp—”
Gawat, pikir sang Inugami. Kapasitas paru-parunya sudah di garis kuning. Ia harus segera menemukan mangkuk sialan itu sebelum mereka berdua mati konyol di sini. Dengan daya pandang seadanya, tangan Mingyu merogoh sana-sini, mencari di balik gumpalan lumut dan dedaunan yang tumbuh di dasar sana, di bawah bebatuan kecil yang menyimpan potongan-potongan tulang ikan dan tubuh manusia yang tak bisa dicerna. Mingyu terus mencari.
Di mana, di mana, di ma—
“Mingyu...”
Bisikan. Sang Kappa dalam pelukan bergerak, menangkup pipinya dengan lemah. Tangan yang mengering itu mengusapnya lembut, lalu membawa wajahnya mendekat. Saat bibir sang Kappa terasa di bibirnya—pecah-pecah, tipis, kasar—Mingyu tanpa sadar membuka mulut. Sang Kappa menciumnya jauh di bawah air hijau yang mengaburkan pandangan, meniupkan oksigen untuk mengisi paru-paru sang Inugami. Diambilnya, direbutnya, hampir paksa. Oksigen itu, ia amat membutuhkannya. Mingyu menggamit kasar lengan atas Minghao untuk menarik Kappa itu semakin dekat, menempelkan bibir mereka semakin lekat, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dari makhluk itu dan Minghao dengan sukarela memberikannya pada Mingyu. Lengan-lengannya sendiri melingkari leher Mingyu. Kedua pasang mata saling terpejam. Dua tubuh melayang di dalam air, tak mau terlepas.
Sampai, pada akhirnya, Minghao yang memutus ciuman itu. Rasanya kepala Mingyu kembali segar. Oksigen sudah mengisi organ dalamnya, memutar lagi peredaran darah yang sempat tersendat. Minghao menatapnya kuyu. Bibirnya mengulum sebuah senyuman lemah. “Di balik batu yang paling besar,” gumamnya kemudian. Mingyu paham apa yang ia maksudkan. Segera saja, Mingyu berbalik dan mencari batu yang dimaksud. Dan, ketika ia menemukannya, dirogohnya ke balik batu tersebut, menarik keluar sebuah mangkuk yang masih utuh.
Tak ada waktu untuk senang dulu. Oksigen yang diberikan Minghao hanya pinjaman sementara. Karena telah mendapatkan mangkuk itu, Mingyu pun menyambar pinggang Minghao lagi dan berenang ke permukaan secepat mungkin. Sebenarnya kalau ia bisa berpikir lebih jernih, ia tinggal menyerahkan mangkuk itu pada Minghao dan berenang sendirian menyelamatkan dirinya. Namun, refleksnya berkata lain. Maka, begitu sinar mulai terlihat lagi,
“PUAHH!!”
Mingyu sudah menyeret Minghao kembali ke permukaan bersamanya. Ia menghirup oksigen dalam-dalam, mengisi lagi paru-parunya hingga penuh, lalu berenang ke pinggir kolam, bersandar di sana, terbatuk-batuk, memuntahkan air dan potongan daun yang ikut tertelan. Mingyu mengusap bibirnya dengan punggung tangan sebelum tersadar bahwa mangkuk Minghao masih di tangannya. Ia pun segera berbalik. Diisinya mangkuk itu dengan air dari kolam, lalu ia menaruhnya di atas kepala sang Kappa.
Mata Minghao yang terpejam pun langsung terbuka. Kulitnya yang mengering dengan cepat menjadi segar lagi. Ia yang sudah hampir seperti mumi, tiba-tiba saja kembali seperti sebelumnya, seolah mangkuk yang pecah tak pernah ada.
“Mingyu...,” ia tersenyum lagi. Lebih ceria kali ini dengan bibir penuh dan pipi berisi. Lebih cantik.
“Ming—!”
Pemikirannya terakhir, sebelum ia pingsan karena pompa adrenalin dan kurangnya oksigen telah merenggut batas kemampuan raga manusianya.