52.
Reaksi alamiah Xu Minghao ketika menemukan Kim Mingyu sedang memandanginya makan #1: melempar gelas isi teh panas ke mukanya.
Reaksi alamiah Xu Minghao ketika menemukan Kim Mingyu sedang memandanginya makan #2: menghajar pipi sebelahnya yang masih bersih dari lebam.
Reaksi alamiah Xu Minghao ketika menemukan Kim Mingyu sedang memandanginya makan #3: memakinya sampai seluruh kepala di kantor itu menoleh dan sukses membuat Mingyu dipecat.
Reaksi yang sebenarnya ia lakukan: diam terpaku menatapnya balik dengan mulut terbuka dan kue di tangan. Terlalu kaget? Atau terlalu bingung?
Sebab,
kenapa Mingyu memandanginya seperti itu...?
“Enak ya?”
Minghao bahkan tidak menangkap pertanyaan Mingyu, sampai Mingyu tersenyum padanya, mengulurkan tangan dan menyentuh halus sudut bibirnya, mengambil chocolate chip yang menempel di sana, lalu memakan butiran itu, barulah ia sadar ia sedang marah pada Kim Mingyu.
“Maaf, Kak.”
Belum sempat Xu Minghao beranjak dari kursi untuk membuat keributan, Mingyu berujar. Lelaki besar itu menunduk. Tidak berani mengangkat wajahnya kembali.
“Aku yang salah. Chan nggak tau apa-apa. Aku yang maksa dia. Aku yang bajak hapenya pas buat janji sama Kakak. Aku yang nyuruh dia buat balesin chat Kakak. Chan nggak masuk juga karena ketakutan sama Kakak. Dia takut Kakak marah, padahal dia nggak salah apa-apa.”
Sesaat ia diam. Bibirnya saling menekan gugup, membentuk sebuah garis tipis. Kepalan tangan di kedua lututnya bergerak gelisah.
Kemudian, Kim Mingyu membungkuk sambil duduk.
“Aku yang salah. Seharusnya aku nggak ngejebak Kakak begitu. Maaf, Kak, maafin aku...”
Hening.
Yah, sebenarnya tidak hening juga sih. Sekeliling mereka bekerja seperti biasa, tidak terlalu mempedulikan. Keheningan hanya merentang di antara kedua insan. Mingyu yang masih membungkuk dan Minghao yang sudah siap untuk menonjoknya kapanpun. Ia benci dipermainkan. Ia benar-benar benci dipermainkan.
“Gue nggak bakal maafin lo.”
Mingyu diam.
“Gue tau orang macem apa lo. Lo sok-sokan ngedeketin gue, cari muka. Baek-baekin gue, padahal baru aja kenal. Orang kayak lo pasti ada udang di balik bakwan,” tuduhnya, membuat Mingyu refleks mendongak. Kaget bukan kepalang. “It's okay kalo lo mau beramah-tamah. It's okay kalo lo ngedeketin gue karena gue lebih senior. I would gladly help you with your work and office life.”
Minghao melipat lengan di dada.
“Tapi lo nyolong nomer hape gue. Lo nge-wa gue. Lo nyanyiin gue. Lo...lo chat gue dengan kata-kata nggak menyenangkan—”
Alis Mingyu menukik seakan ingin menyanggah.
”—dan lo kemaren ngebajak hape temen gue cuma buat lo bisa nipu gue terus lo bohongin gue—dan, tangan—”
Habis, yang ingin ia komplain.
“Sexual harassment.”
Xu Minghao menarik kesimpulan dari jabaran perilaku Mingyu padanya selama ini. Ia berdiri secepat kerjapan mata. “Gue ke HR. Gue mau ngadu kalo lo udah sekuhara gue selama ini. Biar abis lo,” dia berderap yakin. Tangannya mengepal kencang, berusaha menahan diri tidak menambah sanksi bagi dirinya sendiri seperti saran (bego) Seokmin sebelumnya. “Biar lo dipanggil Mas Hani dan Bang Jihoon. Dipanggil Presdir. Biar mampus track record lo. Biar—”
Semua terjadi begitu cepat.
Mingyu menarik lengannya. Tenaga yang dikeluarkan besar, mendadak, membuat Minghao limbung. Akalnya yang biasa berputar kilat, perlu waktu lebih untuk mampu memproses semuanya. Ketika ia sadar, Mingyu sudah menyeretnya ke luar kantor, ke koridor gedung sepi yang jauh dari orang lalu-lalang, tepatnya di salah satu ceruk yang tersembunyi. Mukanya terlalu besar, terlalu dekat dengan wajahnya. Dan wajah itu marah.
Minghao tak bisa menyembunyikan ringisan lebarnya.
“Bener, kan?” ia mendengus, menantang balik, sama sekali tidak takut dengan perubahan sikap Mingyu 180 derajat dari semenit yang lalu. Ia sudah menduganya. “Lo pasti bajingan berbulu domba. Basi. Gue tau jelas orang kayak lo ini sebenernya gimana. Gue tau jelas lo bullshit doang. Lo bakal make orang as long as itu nguntungin buat lo.
Admit it, Kim Mingyu.“
Minghao berusaha tidak menitikkan fokusnya pada lengan Mingyu yang menekuk di sisi kepalanya, membuat lelaki besar itu lebih mendekat. Auranya berat akan angkara. Jika Minghao merasa sedikit saja terancam, maka ia sukses menyembunyikannya dengan tegukan ludah diam-diam. Entah berapa lama berlalu sudah. Minghao mulai risih akan napas mereka yang beradu. Panas. Dan terlalu dekat.
Lalu, perlahan,
Mingyu meringis kejam.
“Heh,” he chuckled. “Ketahuan ya?”
Darah seolah mengalir lebih aktif dalam nadi Minghao. Matanya berkilau. Ada rasa bangga yang aneh karena dirinya mampu menebaknya. Bahwa ia selama ini benar. Mingyu menjauh, membuat Minghao menghela napas lega, lalu bersandar pada dinding di sebelahnya. Kedua tangannya masuk ke saku. Ingin mencari rokok dan geretan, tapi kemudian sadar bahwa mereka masih berada di dalam gedung kantor yang melarang merokok.
“Kok bisa?” tanyanya, sambil terkekeh geli. “Padahal gue udah main subtle kok dari hari pertama sama lo?”
Minghao tidak menjawab, hanya mengangkat dagu, menjaga harga dirinya.
“Ngerti kan lo? Gue tau niat lo dan gue nggak suka. Jadi, daripada lo buang-buang waktu, mendingan lo stop sekarang juga,” Minghao meneguk ludah, lagi. “We can be normal office colleagues, if you stop now. Don't use Chan anymore. Don't use me. Just don't.”
Ia melanjutkan setelah jeda.
“Not everything is your fucking play thing, Kim Mingyu.”
Mingyu diam saja. Tidak mengiyakan, tetapi juga tidak menyangkal. Nihilnya reaksi membuat Minghao ingin segera pergi dari sana, kembali ke mejanya yang aman, yang familier, bukannya berdiri di sudut mati, bahu bersentuhan halus dengan lengan atas Mingyu, merasakan panas kulitnya melalui lengan baju.
Jawabannya datang dalam satu helaan napas, “Okay.”