53.
“Jadi, sekarang gimana?”
Minghao tertawa pasrah. Mereka tengah duduk di sebuah kafe, menikmati dua cangkir minuman dan dua mangkuk gelato, sejenak rehat dari cuaca kejam Jakarta di siang bolong. Kamera masing-masing tersimpan baik di dalam tas. Cukup banyak potret telah mereka abadikan bersama sepanjang memutari Taman Menteng di hari Sabtu.
Sudah menjadi kebiasaan sekarang untuk Mingyu dan Minghao bertemu dan photo hunting berdua. Pasal tak sengaja menabrak Kim Mingyu di restoran terjadi setahun yang lalu, dan, seiring berjalannya waktu, hubungan mereka pun berubah. Kim Mingyu bukan lagi anak setingkat di kuliah yang menginterogasi soal Jeon Wonwoo padanya. Kim Mingyu sekarang adalah teman dekatnya.
Mereka mengobrol ngalor ngidul, seperti biasa, mengenai perusahaan mereka yang sama-sama baru, mengenai teman-teman kampus mereka (ternyata Kim Mingyu mengenal Boo Seungkwan! Dunia memang sempit!), juga mengenai hidup mereka. Di satu kesempatan, Minghao bertanya mengenai Jeon Wonwoo padanya, lebih karena penasaran semata. Terus terang, ia kaget ketika Kim Mingyu menceritakan semuanya padanya.
Kim Mingyu ditinggal pergi sekolah ke luar negeri. Kim Mingyu menanti dan menanti. Setia pada orang yang ia janjikan dan berjanji akan menikahi.
Kim Mingyu diputuskan via sepucuk surat.
Selesai begitu saja.
”...Lo nggak marah?”
Ia ingat ia bertanya begitu, kala itu, sambil tanpa sadar menyentuh tangan Mingyu, mencoba menenangkan. Mingyu mendengus geli.
“Boong kalo gue nggak marah. Gue sedih. Gue kecewa. Gue marah ke diri gue sendiri. Kenapa gue buta selama ini. Tapi, gue jadi sadar, kalo orang yang lo pikir 'pasti jadi sama dia nih', nggak selamanya akan berjalan kayak gitu. Hati orang emang nggak ada yang tau ya...”
Minghao menepuk-nepuk tangan itu.
“Gue yakin lo bakal nemu orang itu, Gyu.”
”....Gue sayang sama Wonwoo, Hao...”
“Iya, gue tau,” kali ini, giliran Minghao yang tersenyum. “Gue liat kok pas kita masih kuliah. Gue kagum lho. Lo bisa sayang banget sama orang kayak gitu. Gue mah boro-boro. Bahkan sama ortu sendiri, gue nggak yakin gue bisa sayang...”
Orangtuanya memang mendidiknya kelewat keras. Makanya, ia bahagia bisa tinggal sendiri, bisa membangun perusahaannya sendiri dari nol begini.
Tepukan di tangannya datang dari Mingyu.
“Lo pasti nemu orang itu, Hao. Ambil contoh dari gue aja. Jodoh emang kita nggak ada yang tau,” kedipan sebelah mata.
Xu Minghao pun tertawa.
.
.
.
“Gue nggak tau, Gyu, gue pusing,” dihelanya napas. “Kita nggak ada yang prediksi kalo bakal jadi gini. Produksi kita numpuk di gudang. Biaya gudang naik. Klien kita juga mulai ngejauh. Gue takut banget kalo saham perusahaan gue turun terus....”
Mendeklarasikan pailit. Cara terakhir untuk membayar tanggung jawab pada para pemegang saham. Namun, itu artinya mimpi yang ia bangun kandas sudah. Layu sebelum benar-benar berkembang. Ia sudah habis akal. Semua cara ia coba diskusikan, coba tempuh. Mentok.
Wajahnya menghilang dalam tangkupan tangannya, tak ingin sahabatnya melihatnya serapuh ini, namun Xu Minghao tidak punya siapa-siapa untuk diceritakan keluh-kesahnya. Ia luput melihat bagaimana Mingyu mengerutkan alis sambil mengelus dagu, berpikir keras.
“Sebenernya kalo lo dapet suntikan dana, masalahnya bisa kelar sih...”
“Tapi siapa, Gyu? Nggak ada orang waras yang mau investasi di perusahaan yang mau karam! Gue udah coba bahkan ngemis ke bokap gue dan dia nggak ngasih gue sepeser pun, kayak dugaan gue! Siapa??”
Alangkah absurdnya, setidaknya di mata Minghao, ketika sahabatnya, Kim Mingyu, meringis lebar dan berkata,
“Gue.”
Haha.
“Yeah rite, Gyu. Gue nggak lagi becanda,” decak Minghao.
“Nggak becanda kok. Gue punya ide bagus. Kita nikah aja.”
.
.
”......Ha?”
“Kalo gue ngasih lo pinjeman, lo bakal ngerasa utang budi sama gue. Gue nggak mau itu. Lo temen gue, Hao. Gue nggak mau pertemanan kita yang udah enjoy ini berubah. Jadi, mendingan kita nikah aja. Harta gue harta lo. Hak milik lo. Jadi nggak ada utang budi segala,” Kim Mingyu mengangguk-angguk dengan begitu yakin, seakan ia baru saja memecahkan misteri Segitiga Bermuda.
Xu Minghao, sebaliknya, memandangnya seakan-akan sahabatnya itu sinting.
“Gimana? Oke kan, Hao?”
“Are you out of your fucking mind, Kim Mingyu?” desisnya. “Ini pernikahan. Ikatan krusial. Jangan bilang lo nuntut gue bayar lo pake badan gue—”
“Touche,” disentuhnya ujung hidung Minghao. “Gue nggak ada niat gitu. Seriusan deh. Abis nikah, lo bisa masukin dana ke perusahaan lo. We stay best friends.”
“Terus gimana kalo lo nemu 'Wonwoo' lo? Gimana kalo gue yang nemu?”
“We split up. Easy. No ruckus. No emotional baggage. Stay friends. We won't fuck anyway so we are friends through and through,” kedua bahu Mingyu naik sekejap. “Don't you need the money, Hao?”
Diam. Kontras terhadap suara riuh-rendah aktivitas kafe sebagai latar mereka.
”....I do.”